Pada artikel kali ini, WTID akan mengajak Fellow Companions untuk menjelajahi alam liar di Namibia, melalui artikel jurnal yang berjudul Perempuan, Konflik Manusia-Satwa Liar, dan CBNRM: Dampak Tersembunyi dan Kerentanan di Konservasi Kwandu, Namibia yang ditulis oleh Kathryn Elizabeth Khumalo dan Laurie Ann Yung. Pada artikel ini, Khumalo dan Yung mengangkat program community-based natural resource management (CBNRM) atau pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang dilakukan di Namibia. Masyarakat pedesaan di Namibia dinilai bisa mendapatkan manfaat dari kegiatan konservasi dengan adanya program ini, namun dari inisiatif tersebut memicu adanya konflik manusia dengan satwa liar yang berdampak bagi kehidupan satwa liar serta mengancam kehidupan dan mata pencaharian manusia, sehingga hal ini dapat merusak tujuan dari program CBNRM.
Penelitian oleh Khumalo dan Yung dilakukan selama 6 bulan di Konservasi Kwandu Namibia pada tahun 2010 - 2011 dengan melakukan wawancara mendalam, semi-terstruktur, observasi partisipan, dan review dokumen. Pengambilan sampel dengan purposive diversity sampling untuk karakteristik sosial yang berbeda (kelas, pendidikan, agama, jumlah anak, ternak yang dimiliki, dll.) dan jenis keterlibatan dalam kegiatan konservasi (mulai dari bekerja penuh waktu hingga tidak ada keterlibatan) digunakan untuk memilih perempuan di Konservasi Kwandu Namibia untuk wawancara.
Konservasi Kwandu Namibia secara resmi didirikan pada tahun 1999. Terletak di wilayah Caprivi Namibia, di jantung Kawasan Konservasi Lintas Batas Kavango Zambezi. Studi regional menunjukkan beberapa penduduk Konservasi Kwandu Namibia, seperti banyak warga Caprivi lainnya, hidup dengan kerawanan pangan. Menurut data CBS tahun 2008 Sekitar 28,6% penduduk Caprivi dianggap 'miskin', dengan pengeluaran bulanan orang dewasa kurang dari NAD262.452. Lokasi kawasan konservasi yang terletak di wilayah rawan banjir tahunan menyebabkan kerawanan pangan kronis. Wawancara informal mengungkapkan beberapa rumah tangga di kawasan konservasi ini memiliki terlalu sedikit makanan untuk menjamin tiga kali makan setiap hari, terutama selama bulan Desember dan Januari.
Konservasi Kwandu Namibia berfungsi sebagai penghubung utama dalam koridor migrasi gajah yang membentang melalui Botswana, Zambia, dan Angola yang berbatasan dengan Taman Nasional Bwabwata yang tidak berpagar, hutan negara bagian, Taman Nasional Sioma Ngwezi Zambia, dan Jalan Raya Trans-Caprivi (Chase dan Griffin 2009; von Gerhardt-Weber 2011). Konservasi ini memiliki perkiraan populasi 4.300 dengan luas 190 km persegi, (NACSO, 2008). Pada saat penelitian dilakukan, Konservasi ini mendapatkan sebagian besar penghasilannya dari perburuan trofi, penjualan kayu, dan hibah. Kurangnya penginapan di destinasi wisata menjadikan konservasi ini memiliki pendapatan lebih rendah dari konservasi lain di negara tersebut yang lebih menguntungkan. Rumah tangga penduduk hanya menerima dua kali dividen tunai dari konservasi ini, dengan jumlah maksimum NAD30 per rumah tangga per distribusi, tetapi sebagian besar pendapatan digunakan untuk membayar gaji staf. Konservasi Kwandu Namibia memiliki tingkat kerusakan tanaman dan taman yang disebabkan oleh satwa liar tertinggi di negara itu, dan menempati urutan kedua tertinggi di antara lembaga konservasi dalam insiden serangan satwa liar terhadap manusia (Brown, 2011), menjadikannya lokasi yang ideal untuk mempelajari HWC dalam konteksnya dari CBNRM.
Berdasarkan penelitian tentang pengalaman perempuan di Konservasi Kwandu Namibia, Khumalo dan Yung menemukan dampak yang terlihat maupun tersembunyi dari konflik manusia-satwa liar. Di Konservasi Kwandu, dampak konflik manusia-satwa liar tidak hanya menyebabkan kerugian materi secara langsung namun juga terdapat dampak tersembunyi seperti kekhawatiran mengenai kerawanan pangan, ketakutan akan keamanan fisik, dan hilangnya investasi. Kerentanan yang ada terkait dengan kemiskinan dan status perkawinan membuat beberapa perempuan lebih rentan terhadap dampak konflik manusia-satwa liar, dan kurang mampu untuk pulih dari kerugian atau untuk mengakses kompensasi. Proses ini sebenarnya justru memperdalam kerentanan perempuan yang status ekonominya sudah terpinggirkan.
Konflik manusia dan satwa liar merupakan kondisi yang terjadi ketika hewan liar melukai atau menghancurkan kehidupan manusia dengan dibunuh, ditangkap atau dilukai. Sebagai akibatnya, manusia dan satwa liar saling menderita karena interaksi satu sama lain. Kondisi konflik antara manusia dan satwa liar di Konservasi Kwandu Namibia memberikan dampak langsung dan tidak langsung kepada masyarakat sekitar. Pada kondisi ini, terdapat kaum perempuan yang menjadi lebih rentan terhadap konflik yang berlangsung.
Antara tahun 2003 dan 2010, Konservasi melaporkan rata-rata 517 insiden kerusakan tanaman yang disebabkan oleh satwa liar per tahun dan memiliki total 19 serangan satwa liar yang dilaporkan pada manusia. Pada 2010, misalnya, buaya membunuh dua anak dan melukai seorang wanita dewasa dalam dua serangan terpisah. Konservasi juga mencatat rata-rata 21 insiden pemangsaan ternak yang dilaporkan per tahun. Dilaporkan bahwa gajah, babi, kuda nil, antelop, dan babun menyebabkan jumlah terbesar konflik manusia-satwa liar. Sementara seorang informan kunci menyatakan bahwa babi merupakan penyebab paling banyak kerusakan tanaman, gajah merupakan ancaman ganda bagi tanaman dan keselamatan manusia (Jones dan Barnes, 2006). Jumlah satwa liar di daerah tersebut telah meningkat secara dramatis dalam dekade terakhir. Survei udara sistem sungai Caprivi dan Kavango di Namibia mencatat peningkatan 54% dalam jumlah satwa liar dari 2004 hingga 2009, dan 9.633 gajah dihitung pada tahun 2009 dibandingkan dengan 3.262 gajah pada tahun 2004 (Chase, 2009).
Dampak langsung akibat terjadinya konflik manusia dengan satwa liar di Konservasi Kwandu yaitu kerawanan pangan akibat hilangnya hasil panen karena satwa liar, kerusakan infrastruktur, predasi hewan ternak, kecelakaan atau cedera, dan kematian. Kondisi ini membuat perempuan menjadi objek yang rentan terutama perempuan yang belum menikah dan perempuan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Satwa liar banyak yang menghancurkan lahan perkebunan mereka pada malam hari, upaya yang dapat dilakukan mereka yaitu berjaga di kebun pada malam hari, namun hal ini tidak mudah untuk dilakukan oleh perempuan yang belum menikah karena lokasi kebun yang jauh dan tidak ada proteksi dan pendampingan apabila mereka harus berjaga di perkebunan pada malam hari dan juga merasa takut mendapatkan serangan atau gangguan dari orang ataupun satwa liar. Apabila hasil panen mereka sudah habis dirusak oleh satwa liar maka alternatif yang harus dilakukan yaitu membeli makanan dan bekerja di tempat lain, namun dengan tingkat pendidikan yang rendah, mereka tidak bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Karena interaksi antara manusia dengan satwa liar tersebut, muncul juga dampak tidak langsung yang mengganggu kelangsungan hidup para petani perempuan, seperti ketakutan akan terluka karena satwa liar, serta kehilangan waktu dan keuangan yang terganggu. Dampak lebih lanjut dari ketakutan dan ketidakpastian hidup di alam bebas yang bergantung pada pertanian memberikan dampak negatif kepada lahan pertanian dan peternakan petani perempuan yaitu menurun hingga rusaknya lahan pertanian karena satwa liar.
Walaupun mendapatkan dampak buruk dan ketakutannya karena tidak mampu menghidupi keluarganya. Menariknya, dalam wawancara seorang narasumber menyatakan bahwa “konservasi ini baik” dan secara khusus menunjukkan bahwa tidak ingin konservasi "dihapuskan". Maka, perlu dibuat regulasi kawasan konservasi yang lebih baik untuk menengahi konflik antara manusia dan satwa-liar agar tujuan CBNRM dapat tercapai dengan baik. Jika, konsep CBNRM seperti di Konservasi Kwandu Namibia akan dilakukan di lokasi lain penulis menyebutkan bahwa perhitungan biasa konflik manusia dengan satwa liar itu sangat tinggi dan harus dipertimbangkan dengan baik karena belajar dari kasus yang terjadi di Konservasi Kwandu di mana kelompok rentan menanggung beban yang tidak proporsional, dan hilangnya satwa liar dapat memperburuk kerawanan pangan rumah tangga, skala respons harus sesuai dengan skala masalah. Karena kawasan konservasi dapat memberikan manfaat pada skala nasional dan internasional maka pemerintah Namibia dan organisasi konservasi harus menawarkan dukungan keuangan dan teknis tambahan untuk menangani konflik manusia dengan satwa liar. Pada skala ini, biaya harus dibagi lebih baik untuk keberlangsungan konservasi agar sumber daya tambahan dapat dipekerjakan lebih banyak untuk menjaga rekreasi dan juga memberikan kompensasi yang tepat waktu dan memadai kepada semua petani. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan perhatian untuk memastikan bahwa individu yang menanggung biaya terbesar akibat konflik manusia dan satwa liar memiliki akses ke pencegahan yang efektif dan kompensasi yang memadai. Karena konflik ini bukan peristiwa biasa, maka mengatasi masalah ini perlu mengenali cara kerentanan terstruktur di tempat-tempat tertentu agar bisa menanggapi dan mengurangi kerentanan secara struktural. Itu berarti menangani masalah kemiskinan dan gender dengan cara yang substantif. Jika premis CBRNM adalah manfaat konservasi seharusnya lebih besar daripada kerugian yang ditanggung masyarakat lokal, maka ancaman terhadap kehidupan dan mata pencaharian perlu ditangani sepenuhnya.
Sumber:
-
Khumalo, K. E., & Yung, L. A. (2015). Women, human-wildlife conflict, and CBNRM: hidden impacts and vulnerabilities in Kwandu Conservancy, Namibia. Conservation and Society, 13(3), 232-243.
-
Brown, C. 2011. Analysis of human-wildlife conflict in the MCA-supported conservancies for the five-year period of 2006-2010. Namibia Nature Foundation.
-
CBS (Central Bureau of Statistics). 2008. A review of poverty and inequality in Namibia. National Planning Commission.
-
Chase, M. 2009. Wildlife census of Namibia’s north east rivers-2009. Based on Chase, M. Fixed-wing aerial wildlife census of the Caprivi River systems: a survey of rivers, wetlands and floodplains.
-
Chase, M. and C. Griffin. 2009. Elephants caught in the middle: impacts of war, fences and people on elephant distribution and abundance in the Caprivi Strip, Namibia. African Journal of Ecology 47(2): 223–233.
-
NACSO (Namibian Association of CBNRM Support Organisations). 2008. Namibia’s communal conservancies: a review of progress and challenges in 2007.
-
Suich, H. 2013. Evaluating the household level outcomes of community based natural resource management: the Tchuma Tchato Project and Kwandu Conservancy. Ecology and Society 18(4): 25.
-
von Gerhardt-Weber, K. 2011. Elephant movements and human-elephant conflict in a transfrontier conservation area. M.Sc. thesis. Stellenbosch University, Stellenbosch, South Africa.
-
Weiss, R. 1994. Learning from strangers: the art and method of qualitative interview studies. New York, NY: The Free Press.
-
WFP (World Food Programme). 2008. An assessment of the impact of the flood and other natural disasters on food security of rural households in areas of Northern Namibia.
Jurnal Review: Sari
Artikel ini dipublikasikan pada laman womentourism.id | 15 April 2021