Berita Acara WTIDcamp 2 Class1: Gender Equality in Tourism Industry

30 Januari 2023

Pada Hari Sabtu, 28 Januari 2023 Women in Tourism Indonesia telah melaksanakan kelas pertama program WTID Camp Batch 2 dengan tema “Gender Equality in Tourism”. Pembicara pada kelas pertama ini adalah Dr. Heather Jeffrey, assistant professor University of Birmingham Dubai. Sejalan dengan tema WTID Camp Batch 2 “Build Gender Equality Scholars: From Youth to Tourism”, kelas ini merupakan upaya untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang kerap terjadi di sektor pariwisata. Hasil akhir yang diharapkan nantinya scholars dapat mengenali dan memahami segala bentuk diskriminasi yang terjadi di sektor pariwisata. Sehingga dapat terlibat untuk menciptakan pariwisata yang harmonis serta lingkungan yang adil dan bebas dari tindakan diskriminasi. 

 

Sebelum memulai menjelaskan materi, Dr. Jeffrey bertanya kepada para scholars mengenai pemahaman mereka terhadap gender melalui pertanyaan “what is gender?”. Beberapa scholars menjawab arti dari gender itu sendiri, salah satunya yaitu Miladiyatu Tsania menjawab “Gender refers to the characteristic of women, men, girls and boys that are socially constructed”. Scholar lainnya, Rachma Putri  juga berpendapat “And I think gender can change from time to time due to developments that affect the values and norms of that society”. Menurut Dr. Jeffrey yang ia kutip dari Swain dan Crotty, Gender adalah identitas yang bergantung pada praktik manusia, dibangun di dalam dan di luar interaksi antara manusia dan dunianya serta dikembangkan dalam konteks sosial. Dalam arti lain, gender tidak didefinisikan pada saat lahir, tetapi melalui interaksi dan sosialisasi. 

 

Berdasarkan representasi gender dan kaitannya dengan industry pariwisata, dapat dimisalkan bahwa masyarakat sebagai tuan rumah kemudian memproduksi gender melalui interaksi dan konsumsi yang nantinya akan menciptakan suatu interaksi sosial berupa masyarakat sebagai tamu wisata, begitu pula sebaliknya. Pariwisata dan gender merupakan dua hal yang terkait. Sifat alami pariwisata adalah gender, karena pariwisata dibangun dari masyarakat yang sudah memiliki gender. Namun, realitanya gender masih dan tetap terpinggirkan dalam penelitian pariwisata. Menurut UNWTO, pariwisata dapat membantu negara mencapai SDGs 5 yakni kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Kenyataannya, pemberdayaan ekonomi dan penyediaan pekerjaan terampil terhadap perempuan masih memiliki nilai dan upah yang rendah. Hampir di setiap negara seperti Turki, Tunisia, Spanyol, Inggris, posisi staff F&B adalah laki-laki, dan wanita banyak dipekerjakan sebagai staff hotel namun tidak dengan posisi yang lebih tinggi. 

 

Pertanyaannya, mengapa upah dan pekerja terampil perempuan di industry pariwisata masih rendah? Terdapat bias gender dari masyarakat patriarki dan berdampak pada kemungkinan kesetaraan gender baik dari dalam maupun luar pariwisata. Perlu pemimpin pariwisata dan pengarusutamaan gender yang dapat dilakukan melalui pelatihan khususnya untuk manajer pariwisata dan perhotelan agar lebih memahami hambatan yang dihadapi beberapa perempuan. 

 

Pembahasan terakhir yang dipaparkan oleh Dr. Jeffrey yakni menegaskan kekerasan terhadap perempuan dapat dipahami sebagai tindakan yang berakibat atau mungkinkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Sebelum menutup, beliau membagi scholars ke dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi mengenai seperti apa gender, pariwisata, dan kesetaraan di Indonesia, tantangan utama apa yang dihadapi industri pariwisata dalam pemberdayaan perempuan dan anak serta bagaimana scholars memberi rekomendasi untuk penanganan tersebut. 

 

Keadilan dan kesetaraan dalam industri pariwisata sudah seharusnya ditegakkan. Tidak ada perempuan yang sama, namun pemberdayaan dapat mendorong perubahan. Pekerjaan yang diskursif bermanfaat untuk mengalihkan perspektif pada pekerja perempuan serta perlu mulai mendengarkan perempuan dan memperhatikan perbedaannya. Jangan terjebak dalam belenggu budaya patriarki yang juga merugikan perempuan.