Di balik megahnya panorama Himalaya, tersimpan jejak sunyi perempuan pegunungan yang meniti hidup dalam senyap, mereka bukan hanya menjaga keseimbangan tradisional ekosistem secara konservatif, melainkan sebagai aktor utama dalam keberlanjutan lingkungan hidup, meskipun peran vital ini sering kali tidak mendapatkan pengakuan dalam otoritas sistem sosial dan kebijakan yang masih didominasi nilai-nilai patriarki. Struktur masyarakat pegunungan Hindu Kush Himalaya (HKH) sendiri secara eksplisit merepresentasikan realitas keseharian perempuan dengan beban kerja ganda, mulai dari tanggung jawab domestik sebagai pengelola sumber daya alam, penanggung jawab rumah tangga dan keluarga, hingga tantangan di tengah dinamika perubahan iklim yang melipatgandakan kerentanan hidup mereka (FAO, 1999; ICIMOD, 2023).
Beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan Himalaya bekerja selama 14 hingga 16 jam per hari, yang mencakup aktivitas fisik seperti membawa air, mengumpulkan kayu bakar, memelihara ternak, dan bertani di bentang lahan terjal dengan akses pelayanan dasar yang minimal (FAO, 1999). Namun, disamping besarnya beban tanggung jawab, keberadaan mereka dalam struktur pengambilan keputusan publik sering termarginalisasi, dengan partisipan yang sering kali bersifat simbolik tanpa objektivitas yang memperhitungkan otoritas dan pengalaman ekologis yang mereka miliki (Leduc, 2009; ICIMOD, 2019).
Partisipasi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam di kawasan Himalaya merupakan realitas struktural yang diwarisi dari pengetahuan turun-temurun, sehingga memungkinkan mereka mengembangkan sistem agroteknologi dan konservasi berbasis komunitas secara berkelanjutan, seperti dalam praktik hutan campuran dan manajemen non-timber forest products (Singh, 2015). Namun, kerangka pembangunan berkelanjutan dan konservasi berbasis negara sering kali mengabaikan nilai dan pengetahuan lokal perempuan, bahkan memproduksi ketimpangan gender dengan memberlakukan kebijakan yang mengatur akses sumber daya secara eksklusif dan tidak berkeadilan (Berry & Gururani, 2014).
Ironisnya, seiring dinamika perubahan iklim yang memperbesar risiko bencana hidrologi seperti kekeringan, longsor, dan kelangkaan air, perempuan justru memikul dampak paling berat tanpa akses yang layak terhadap teknologi, informasi, maupun modal adaptasi. Perempuan disebut lebih rentan karena terbatasnya hak atas tanah, pendidikan, kepemilikan aset, serta akses terhadap program adaptasi, dimana kebijakan iklim seringkali tidak menyertakan perspektif gender dan gagal mengakui peran perempuan sebagai agen adaptasi (Bhadwal et al., 2019).
Studi lapangan di Sikkim, India telah memperlihatkan bahwa meski perempuan memainkan peran utama dalam pertanian dan produksi pangan, mereka tetap menghadapi hambatan struktural dalam akses pelatihan teknis, layanan penyuluhan, dan partisipasi dalam skema kebijakan mitigasi (Bhadwal et al., 2019). Hal ini tentu sejalan dengan temuan ICIMOD yang menegaskan bahwa kebijakan di negara-negara Himalaya gagal mengatasi bentuk-bentuk penindasan dan eksklusi sosial yang dialami perempuan, padahal perempuan memiliki modal sosial, pengalaman kritis, dan jaringan solidaritas yang kuat di level komunitas.
Tantangan yang dihadapi perempuan himalaya bersifat interseksional, tidak hanya berkaitan dengan gender, tetapi juga mencakup identitas etnis, kasta, kemiskinan, dan kondisi geografis (Bhadwal et al, 2019), sehingga diperlukan pendekatan holistik untuk merumuskan kompleksitas kerentanan yang mereka alami. Hal ini diperjelas dalam laporan FAO tahun 2019, ketika laki-laki bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan sebagai strategis adaptasi rumah tangga, perempuan tertinggal untuk mengelola tanah dan merawat keluarga tanpa jaminan hak, perlindungan sosial, maupun dukungan kelembagaan yang memadai.
Di balik bayang-bayang sistem yang sering kali menyingkirkan hak perempuan dalam ranah keputusan, tumbuh benih ketahanan yang lahir dari akar komunitas, berbagai gerakan dan inisiatif berbasis komunitas telah menunjukkan bahwa perempuan memiliki sinergitas dan kapasitas adaptif yang besar, seperti dalam program HKH Women on Ice dan GIT oleh ICIMOD yang memberdayakan ratusan perempuan muda dalam teknologi geospasial untuk membantu pengelolaan lingkungan dan pemantauan perubahan iklim (ICIMOD, 2023). Inisiatif ini membuktikan bahwa ketika diberikan akses yang setara, perempuan tidak hanya berdaya dalam menghadapi perubahan, tetapi juga mampu memimpin transformasi sosial dan ekologi di komunitas mereka.
Demikianlah yang dapat diungkapkan, bahwa mengangkat dan mengakui peran perempuan Himalaya bukan hanya persoalan keadilan sosial, melainkan langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan ekosistem pegunungan dan memperkuat ketahanan komunitas lokal di tengah krisis iklim yang kian tak terbantahkan.
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 30 Juli 2025
Writer:
Hanum Zatza Istiqomah
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in social, cultural, and sustainability issues.
Referensi:
- Aggarwal, M. (2019, March 5). Women need governmental support to deal with climate change in the Himalayas. Mongabay-India. https://india.mongabay.com/2019/03/women-need-governmental-support-to-deal-with-climate-change-in-the-himalayas/
- Berry, K., & Shubhra Gururani. (2025). Special Section: Gender in the Himalaya. DigitalCommons@Macalester College. https://digitalcommons.macalester.edu/himalaya/vol34/iss1/9/?utm_source=digitalcommons.macalester.edu%2Fhimalaya%2Fvol34%2Fiss1%2F9&utm_medium=PDF&utm_campaign=PDFCoverPages
- Bhadwal, S., Sharma, G., Gorti, G., & Sen, S. M. (2019). Livelihoods, gender and climate change in the Eastern himalayas. Environmental Development, 31, 68–77. https://doi.org/10.1016/j.envdev.2019.04.008
- Empowering Himalayan women - ICIMOD. (2019, November 26). ICIMOD - International Centre for Integrated Mountain Development. https://www.icimod.org/empowering-himalayan-women/
- Leduc, B. (2009, September). Gender and Climate Change in the Himalayas. ICIMOD.
- Singh, K. (2015). WOMEN AND THEIR ROLE IN NATURAL RESOURCES: A STUDY IN WESTERN HIMALAYAS. International Journal of Research -GRANTHAALAYAH, 3(10), 128–138. https://doi.org/10.29121/granthaalayah.v3.i10.2015.2938
- Women, children and well-being in the mountains of the Hindu Kush Himalayan region. (2025). Fao.org. https://www.fao.org/4/x0963e/x0963e05.htm
Sumber foto: http://shutterstock.com/