Pariwisata sekarang bukan cuma soal angka kunjungan dan pendapatan. Di balik gemerlap destinasi dan geliat ekonomi, ada persoalan penting yang sering terabaikan, apakah sektor ini benar-benar aman dan adil bagi semua, terutama perempuan? Selama ini, banyak pekerja dan wisatawan perempuan masih menghadapi diskriminasi, pelecehan, hingga kurangnya fasilitas dasar seperti toilet dan transportasi yang aman. Dalam studi akademik, isu kesetaraan gender di sektor pariwisata sebenarnya sudah lama dibahas, namun penerapannya di lapangan seringkali belum berjalan seimbang. Dashper, Turner, dan Wengel (2020) menyoroti bagaimana pengetahuan dan kebijakan dalam pariwisata masih didominasi perspektif laki-laki, sehingga suara dan pengalaman perempuan kerap terpinggirkan. Akibatnya, upaya menuju pariwisata yang benar-benar inklusif sering kali berhenti di tataran wacana. Dalam konteks ini, langkah Kerala menjadi menarik karena kebijakan gender audit dan women-friendly tourism yang diterapkannya bukan hanya berbicara soal gagasan, tetapi sudah menurunkannya ke praktik nyata yang berdampak langsung bagi perempuan di industri pariwisata. Kerala adalah salah satu negara bagian di India yang dikenal dengan program Responsible Tourism-nya, mencoba menjawab tantangan itu lewat kebijakan gender audit dan program women-friendly tourism. Pemerintah Kerala berencana melakukan audit di 16 destinasi wisata pada akhir 2025 untuk memastikan seluruh tempat wisata aman, inklusif, dan memberi ruang yang setara bagi perempuan (Times of India, 2025). Inisiatif ini bukan cuma soal keindahan destinasi, tapi tentang membangun sistem pariwisata yang manusiawi. Artikel ini membahas bagaimana kebijakan tersebut bekerja, apa dampaknya bagi perempuan, dan pelajaran apa yang bisa diambil Indonesia dari keberanian Kerala.
Berbeda dari banyak wilayah lain, Kerala punya otonomi luas untuk membuat kebijakan pariwisata yang sesuai kebutuhan masyarakatnya. Pemerintah daerahnya menempatkan Responsible Tourism sebagai dasar utama: pariwisata yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial (Responsible Tourism Society of India, 2020). Dari sinilah muncul inisiatif gender audit sebagai bagian dari strategi besar untuk menjadikan pariwisata lebih ramah perempuan (Kerala Tourism, 2025). Secara hukum, langkah Kerala sejalan dengan prinsip-prinsip internasional seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), yang sama-sama menegaskan bahwa negara punya tanggung jawab melindungi hak perempuan, dan sektor bisnis harus menghormati hak asasi manusia (United Nations, 1979; UN Human Rights Council, 2011). Dengan dasar ini, gender audit di Kerala bukan sekadar kebijakan lokal, tapi bagian dari gerakan global untuk menjadikan pariwisata lebih adil dan berperspektif gender.
Secara sederhana, gender audit bisa dibilang sebagai “pemeriksaan kesetaraan” proses menilai apakah destinasi wisata sudah ramah bagi perempuan dalam hal fasilitas, keamanan, peluang kerja, dan partisipasi. Kerala melibatkan berbagai pihak dalam proses ini, mulai dari pemerintah daerah, organisasi perempuan, lembaga swadaya masyarakat, sampai lembaga The Gender Park yang fokus pada isu kesetaraan. Audit ini mencakup berbagai aspek. Misalnya, bagaimana kondisi penerangan di area wisata saat malam hari, seberapa aman transportasinya, apakah tersedia toilet yang layak dan bersih, bagaimana mekanisme pelaporan jika terjadi pelecehan, sampai berapa banyak perempuan yang punya posisi penting dalam pengelolaan destinasi. Pendekatan yang digunakan berbasis komunitas, artinya setiap daerah menyesuaikan audit dengan kebutuhan dan kondisi lokalnya (Kerala Tourism, 2025). Intinya, audit ini bukan sekadar menilai “ada atau tidak” fasilitas bagi perempuan, tapi juga meninjau apakah sistem pariwisatanya benar-benar memberikan ruang aman dan peluang yang setara.
Menurut laporan resmi Kerala Tourism tahun 2025, sektor pariwisata di sana mencatat rekor baru pada 2024 dengan lebih dari 22,24 juta kunjungan domestik dan lebih dari 738 ribu wisatawan internasional. Angka ini menunjukkan bahwa destinasi di Kerala, seperti Kochi, Munnar, dan Thiruvananthapuram, menjadi titik padat wisatawan (Kerala Tourism, 2025). Dengan jumlah pengunjung sebanyak itu, wajar jika isu keselamatan dan fasilitas bagi perempuan menjadi perhatian utama. Gender audit hadir sebagai upaya agar pariwisata tidak hanya ramai, tapi juga aman. Ketika wisatawan merasa terlindungi dan pekerja perempuan dihargai, dampaknya bukan cuma sosial, tapi juga ekonomi karena kepercayaan publik terhadap destinasi akan meningkat.
Dari sisi hukum, gender audit bisa dianggap sebagai cara pemerintah menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi warga dan wisatawan. Ini juga sejalan dengan prinsip hak asasi manusia bahwa setiap orang berhak merasa aman dan diperlakukan setara di ruang publik. Namun, audit semacam ini tidak bisa berhenti di tataran simbolik. Hasil audit harus ditindaklanjuti dengan perbaikan nyata, misalnya perbaikan infrastruktur, pelatihan petugas wisata, serta kebijakan anti-pelecehan di tempat kerja. Tanpa itu, audit hanya akan menjadi laporan di atas kertas. Laporan yang transparan, adanya mekanisme akuntabilitas, serta kerja sama lintas lembaga mulai dari dinas pariwisata, kepolisian, hingga lembaga perempuan menjadi kunci agar kebijakan ini benar-benar berjalan (UN Human Rights Council, 2011).
Kebijakan gender audit membawa banyak potensi positif. Destinasi yang aman dan nyaman bagi perempuan akan menarik lebih banyak wisatawan, meningkatkan reputasi daerah, dan membuka ruang kerja baru bagi perempuan. Kerala bahkan sudah mulai melibatkan perempuan dalam berbagai peran, seperti pemandu wisata, pengelola homestay, hingga pelaku usaha kreatif lokal. Meski begitu, ada beberapa tantangan. Pendanaan untuk memperbaiki fasilitas kadang terbatas, sementara resistensi budaya patriarki masih menjadi hambatan sosial. Selain itu, belum semua daerah punya data yang jelas soal jumlah pekerja perempuan atau kasus kekerasan di sektor pariwisata, padahal data itu penting untuk mengevaluasi hasil audit. Bagi Indonesia, model Kerala bisa jadi inspirasi yang relevan. Indonesia punya destinasi besar seperti Bali, Labuan Bajo, dan Yogyakarta yang ramai dikunjungi wisatawan. Menerapkan gender audit di tempat-tempat itu bisa jadi langkah awal menciptakan sistem pariwisata yang lebih aman dan adil. Kuncinya ada di komitmen pemerintah daerah, ketersediaan data, serta dukungan regulasi yang tegas supaya hasil audit punya kekuatan hukum dan dampak nyata.
Langkah Kerala menunjukkan bahwa pariwisata bisa menjadi ruang aman, bukan ruang yang membuat perempuan waspada. Melalui gender audit dan kebijakan pariwisata ramah perempuan, Kerala membuktikan bahwa keadilan dan keamanan bisa berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Bagi banyak negara, termasuk Indonesia, ini bukan hanya contoh kebijakan sukses, tapi juga pengingat bahwa sektor pariwisata punya tanggung jawab sosial besar: memastikan setiap orang, tanpa memandang gender, bisa menikmati perjalanan dengan rasa aman dan dihargai.
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 3 November 2025
Writer:
Sylviatul Muthqia
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in women's empowerment issues.
Referensi
Dashper, K., Turner, L., & Wengel, Y. (2020). Gendering knowledge in tourism: An integrated approach. Journal of Sustainable Tourism, 28(8), 1185–1202.
Responsible Tourism Society of India. (2020). How to be a responsible traveller: Responsible traveller guidelines. Responsible Tourism Society of India.
Responsible Tourism Mission Kerala. (2023). New Responsible Tourism Declaration 2023. Kerala: Department of Tourism.
United Nations. (1979). Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). United Nations.
UN Human Rights Council. (2011). Guiding principles on business and human rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” framework. United Nations.
World Tourism Organization, UN Women, World Bank Group, Amadeus, & GIZ. (2019). Global report on women in tourism (2nd ed.). Madrid: UNWTO.
Government of India, Ministry of Tourism. (2024). Annual report 2024–2025. New Delhi: Ministry of Tourism, Government of India.
Kerala Tourism Department. (2025). Tourist statistics 2024–2025. Thiruvananthapuram: Department of Tourism, Government of Kerala.
Kerala Tourism. (2025, February). Kerala advances gender-inclusive tourism policy to empower women. Kerala Tourism Newsletter. Retrieved from
https://www.keralatourism.org/newsletter/news/2025/kerala-advances-gender-inclusive-tourism-policy-to-empower-women/2331
Kerala Tourism. (2025, January). Kerala sets tourism record in 2024 with over 22.24 crore visitors. Kerala Tourism Newsletter. Retrieved from https://www.keralatourism.org/newsletter/news/2025/kerala-sets-tourism-record-in-2024-with-over-222-crore-visitors/2291
Times of India. (2025, February 5). Gender audit at 16 tourist destinations in Kerala by year end: Minister. The Times of India. Retrieved from https://timesofindia.indiatimes.com/city/thiruvananthapuram/gender-audit-at-16-tourist-destinations-in-kerala-by-year-end-minister/articleshow/122325059.cms
UNI India. (2025, February 9). ICGE-II from Feb 11 at Kozhikode to take stock of Kerala govt’s policies for women entrepreneurship. UNI India. Retrieved from https://www.uniindia.com/~/icge-ii-from-feb-11-at-kozhikode-to-take-stock-of-kerala-govt-s-policies-for-women-entrepreneurship/States/news/2310827.html