Pulau Bali selama bertahun-tahun telah menjadi jantung pariwisata Indonesia, menyumbang sebagian besar devisa sektor ini dan menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara. Namun, di balik gemerlapnya industri pariwisata, tekanan terhadap sumber daya alam, ruang hidup masyarakat, dan tata ruang semakin nyata. Banjir besar yang melanda beberapa wilayah Bali pada pertengahan tahun 2025 menjadi titik balik penting yang mendorong evaluasi menyeluruh terhadap arah pembangunan pariwisata di pulau ini. Menurut Kompas Travel (2025), Pemerintah Provinsi Bali resmi mengumumkan kebijakan penghentian izin pembangunan hotel dan restoran baru di lahan produktif, sebagai langkah konkret menekan laju eksploitasi ruang akibat overdevelopment pariwisata.
Pariwisata Bali tumbuh pesat setelah pandemi, dengan tingkat kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara kembali mendekati angka pra-2020. Berdasarkan data BPS Provinsi Bali (2024), jumlah wisatawan mancanegara mencapai hampir 5,2 juta kunjungan, meningkat 40% dibanding tahun sebelumnya. Namun, menurut Utama et al. (2024), lonjakan tersebut justru menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan konsumsi air bersih, tekanan terhadap sistem sampah, serta alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan akomodasi. Dalam penelitiannya, mereka menyebut fenomena ini sebagai overtourism crisis, dimana kapasitas lingkungan dan sosial tidak lagi mampu menampung intensitas kunjungan wisata. Fenomena serupa juga terlihat di berbagai destinasi dunia seperti Venice dan Barcelona, yang telah menerapkan pembatasan pembangunan serta pengetatan izin turis demi menjaga keseimbangan ekosistem (Bertocchi et al., 2020). Bali kini mengikuti langkah tersebut melalui pendekatan yang lebih terarah menuju konsep quality tourism dan regenerative tourism.
Menurut The Bali Media (2025), kebijakan moratorium izin hotel dan restoran di Bali bertujuan membatasi pembangunan pada lahan produktif seperti sawah, yang selama ini berperan penting dalam keseimbangan ekologis. Pemerintah daerah menilai bahwa banjir 2025 merupakan akibat langsung dari penyusutan lahan resapan air dan pembangunan yang tak terkendali di kawasan wisata utama seperti Canggu, Ubud, dan Seminyak. Kebijakan ini juga sejalan dengan strategi nasional Indonesia Quality Tourism Fund yang digagas Kemenparekraf (2024), yang mendorong daerah wisata beralih dari pariwisata berbasis volume menuju pariwisata berbasis nilai. Artinya, ekonomi tidak lagi bergantung pada jumlah kunjungan, melainkan pada peningkatan nilai tambah per wisatawan baik dalam aspek pengeluaran, lama tinggal, maupun kontribusi terhadap masyarakat lokal. Langkah ini mendapat dukungan dari berbagai akademisi dan aktivis lingkungan. Menurut Suardhana (2024), moratorium pembangunan akomodasi adalah kebijakan berani yang dapat menstabilkan ekonomi Bali jangka panjang, dengan memaksa diversifikasi sektor, seperti pengembangan pertanian organik, kriya lokal, dan wisata berbasis budaya.
Bali sebelumnya telah memiliki dasar kebijakan keberlanjutan melalui dokumen Green Growth 2050 Roadmap yang disusun bersama pemerintah daerah dan mitra internasional. Dokumen tersebut menegaskan pentingnya prinsip Tri Hita Karana, keselarasan antara manusia, alam, dan spiritualitas sebagai fondasi pengembangan ekonomi hijau di sektor pariwisata (Green Growth 2050, 2015). Dalam konteks ini, moratorium pembangunan hotel baru bukan hanya upaya reaktif terhadap bencana, melainkan langkah menuju transformasi ekonomi regeneratif. Model ini mengedepankan restorasi lingkungan dan pemberdayaan ekonomi komunitas lokal. Contohnya, di beberapa desa wisata seperti Penglipuran dan Nglanggeran, masyarakat mengelola sendiri paket wisata berbasis budaya dan ekologi. Pendapatan dari sektor tersebut kemudian diputar kembali untuk menjaga kebersihan, konservasi air, serta melestarikan tradisi. Pendekatan semacam ini terbukti lebih tahan krisis, karena manfaat ekonominya langsung dirasakan masyarakat, bukan hanya investor eksternal.
Meskipun secara prinsip disambut positif, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan. Beberapa pelaku industri khawatir terhadap perlambatan investasi dan potensi penurunan kunjungan. Namun, menurut The Bali Sun (2025), pemerintah menegaskan bahwa arah kebijakan ini bukanlah “anti-investasi”, melainkan reinvestasi nilai, mendorong peningkatan kualitas layanan, sertifikasi hijau, dan efisiensi energi pada akomodasi yang sudah ada. Selain itu, masalah pengawasan menjadi kunci. Tanpa kontrol yang kuat terhadap izin pembangunan ilegal dan praktik greenwashing, kebijakan ini bisa kehilangan dampak riilnya. Utama et al. (2024) juga menyoroti perlunya transparansi dalam tata kelola lahan dan kolaborasi lintas sektor agar keseimbangan antara ekonomi dan ekologi benar-benar terwujud.
Kebijakan penghentian pembangunan hotel baru di Bali menandai perubahan paradigma penting: dari pariwisata massal menuju pariwisata bernilai tinggi dan berkelanjutan. Ketika alam memberi peringatan melalui banjir dan krisis lingkungan, Bali memilih mendengar dan menyesuaikan arah. Langkah ini tidak hanya menyelamatkan ekosistem pulau, tetapi juga membuka jalan bagi ekonomi yang lebih tangguh, adil, dan berakar pada identitas lokal. Jika berhasil, kebijakan ini dapat menjadi model transisi ekonomi hijau yang menginspirasi destinasi lain di Indonesia, sebuah bukti bahwa keberlanjutan bukanlah penghambat pertumbuhan, melainkan fondasi dari kemakmuran yang sejati.
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 3 November 2025
Writer:
Sylviatul Muthqia
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in women's empowerment issues.
Referensi
Bertocchi, D., Camatti, N., Giove, S., & van der Borg, J. (2020). Venice and overtourism: Simulating sustainable scenarios through a tourism carrying capacity model. Sustainability, 12(2), 512. https://doi.org/10.3390/su12020512
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (2024). Statistik Pariwisata Bali 2024. Retrieved from https://bali.bps.go.id
Green Growth 2050 Roadmap for Bali. (2015). Sustainable Tourism Development in Bali. Ministry of Tourism, Republic of Indonesia.
Kompas Travel. (2025, September 15). Usai banjir besar, Bali akan setop izin pembangunan hotel di lahan produktif. https://travel.kompas.com/read/2025/09/15/135549327/usai-banjir-besar-bali-akan-setop-izin-pembangunan-hotel-di-lahan-produktif
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2024). Indonesia Quality Tourism Fund. Retrieved from https://kemenparekraf.go.id
Suardhana, I. N. (2024). Overtourism and resilience in Bali’s sustainable development. Tourism Spectrum Diversity & Dynamics, 1(2), 77–94.
The Bali Media. (2025, September 19). Bali imposes construction ban on new hotels, villas, and restaurants to curb overdevelopment. https://thebalimedia.com
The Bali Sun. (2025, September 20). New laws will prevent land conversion for tourism in Bali to reduce flood risks. https://thebalisun.com
Utama, I. G. B. R., Suardhana, I. N., Sutarya, I. G., & Krismawintari, N. P. D. (2024). Assessing the impacts of overtourism in Bali: Environmental, socio-cultural, and economic perspectives on sustainable tourism. Tourism Spectrum Diversity & Dynamics, 1(2), 55–70. https://doi.org/10.56578/tsdd010202