Transformasi Mobilitas dan Ekonomi Pariwisata Berkelanjutan di Swiss melalui Slow Travel

Di tengah meningkatnya kesadaran global terhadap krisis iklim, sektor pariwisata menjadi salah satu bidang yang paling banyak disorot karena kontribusinya terhadap emisi karbon dunia. Menurut Peeters dan Papp (2024), sektor pariwisata global menyumbang sekitar 8–10 persen emisi gas rumah kaca setiap tahunnya, terutama dari transportasi udara dan akomodasi. Dalam konteks ini, Swiss muncul sebagai negara yang berhasil membangun model pariwisata rendah emisi melalui penerapan konsep “slow travel”, gaya perjalanan yang menekankan efisiensi energi, transportasi berkelanjutan, dan pengalaman mendalam dibanding mobilitas cepat.

 

Swiss dikenal memiliki struktur ekonomi pariwisata yang stabil dan inklusif. Berdasarkan data dari Swiss Federal Statistical Office (BFS, 2025), sektor pariwisata menyumbang sekitar 2,5 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dengan lebih dari 40 juta kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara pada tahun 2024. Menurut CEIC Data (2025), pendapatan pariwisata Swiss mencapai lebih dari 12 miliar franc Swiss, meningkat sekitar 7 persen dibanding tahun sebelumnya, terutama karena tren perjalanan berbasis pengalaman dan keberlanjutan. Swiss juga menonjol dalam perencanaan ruang dan infrastruktur transportasi publiknya. Menurut BFS (2025), 90 persen wilayah negara ini dapat diakses dengan transportasi umum ramah lingkungan seperti kereta, trem, dan bus listrik. Kota-kota besar seperti Jenewa bahkan mulai menerapkan kebijakan transportasi umum gratis untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi (Bisnis Hijau, 2025). Kebijakan tersebut bukan hanya berdampak positif bagi lingkungan, tapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dengan memperluas akses wisatawan ke destinasi pedesaan dan pegunungan.

 

Menurut Hoppe dan Michl (2017), slow travel di Swiss bukan hanya strategi mobilitas, tetapi filosofi ekonomi yang menempatkan keberlanjutan sebagai inti pengalaman wisata. Konsep ini menekankan perjalanan lambat dengan transportasi rendah emisi seperti kereta, sepeda, atau berjalan kaki sambil mendorong wisatawan untuk tinggal lebih lama di satu destinasi dan berinteraksi lebih dalam dengan masyarakat lokal. Pendekatan ini terbukti membawa dampak ekonomi positif. Data dari EHL Hospitality Insights (2025) menunjukkan bahwa wisatawan yang melakukan perjalanan lambat rata-rata menghabiskan waktu tinggal 1,5 kali lebih lama dibanding wisatawan biasa, dengan pengeluaran harian yang lebih tinggi di sektor lokal seperti kuliner, homestay, dan kerajinan tangan. Dengan demikian, model ekonomi slow travel tidak mengorbankan pertumbuhan, melainkan mengalihkannya ke bentuk yang lebih berkelanjutan dan terdistribusi secara adil.

 

Keberhasilan Swiss menerapkan slow travel tidak lepas dari sistem mobilitas publik yang efisien dan terintegrasi. Menurut BFS (2025), lebih dari 80 persen perjalanan wisata domestik dilakukan dengan kereta api, sementara konsumsi energi per penumpang hanya sepertiga dari transportasi udara. Pemerintah Swiss melalui Federal Office for the Environment juga menerapkan regulasi ketat terkait kendaraan pribadi dan emisi transportasi dengan pembatasan di wilayah perkotaan (Urban Access Regulations EU, 2025). Selain itu, platform wisata resmi MySwitzerland.com (2025) memperkuat narasi keberlanjutan melalui kampanye “Swisstainable” yang mengajak wisatawan untuk bepergian dengan sadar, menghargai waktu, dan memperhatikan jejak karbon mereka. Strategi ini disinergikan dengan kebijakan Green Mobility Plan yang memperluas jaringan kereta ke destinasi alam terpencil di Alpen, sehingga wisatawan dapat menjangkau area konservasi tanpa kendaraan pribadi.

 

Menurut Schorner (2010), pariwisata pegunungan di Swiss telah lama menjadi contoh keberhasilan pengelolaan pariwisata berkelanjutan. Prinsip-prinsip yang dipegang mencakup keseimbangan antara aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya. Pemerintah daerah mengintegrasikan perencanaan wisata dengan pelestarian ekosistem gunung, termasuk konservasi air dan perlindungan keanekaragaman hayati di kawasan Alpen. Wisata pegunungan juga mendukung ekonomi lokal secara langsung. Model pengelolaan komunitas seperti di Zermatt dan Interlaken mengutamakan pekerja lokal, penggunaan produk daerah, dan edukasi wisatawan tentang lingkungan. Menurut UNEP (2025), kemitraan antara pemerintah Swiss, komunitas lokal, dan lembaga konservasi global menjadi kunci sukses menjaga keseimbangan antara aktivitas ekonomi dan pelestarian alam.

 

Swiss menargetkan net zero emissions di sektor pariwisata pada tahun 2050. Menurut Peeters dan Papp (2024), strategi Swiss menonjol karena menggabungkan efisiensi energi, elektrifikasi transportasi publik, dan kompensasi karbon berbasis hutan. Program inovasi seperti Clean the Sky Initiative juga mempercepat transisi menuju teknologi pariwisata hijau mulai dari hotel bertenaga surya hingga digitalisasi sistem transportasi. Pendekatan slow travel memungkinkan wisatawan untuk menjadi bagian dari solusi iklim tanpa kehilangan nilai pengalaman. Semakin banyak operator tur dan maskapai regional yang mempromosikan paket “low carbon itinerary”, termasuk perjalanan kereta malam lintas negara Eropa. Model slow travel di Swiss menunjukkan bahwa pariwisata berkelanjutan bukan hanya wacana ideal, tetapi dapat menjadi sistem ekonomi yang efisien dan menguntungkan. Melalui kombinasi antara kebijakan rendah emisi, transportasi publik terintegrasi, dan perubahan perilaku wisatawan, Swiss berhasil menurunkan intensitas emisi tanpa menekan pertumbuhan ekonomi sektor pariwisata. Keberhasilan ini memberi pelajaran penting bagi negara lain, termasuk Indonesia: keberlanjutan tidak harus mengurangi peluang ekonomi, melainkan mengarahkannya pada keseimbangan yang lebih adil antara manusia, alam, dan budaya. Slow travel adalah simbol bahwa keindahan perjalanan bukan diukur dari kecepatan, tetapi dari kedalaman pengalaman dan kesadaran kita menjaga bumi.

 

 

Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 6 November 2025

 

Writer:

Sylviatul Muthqia

An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in women's empowerment issues.

 

Referensi

Bisnis Hijau. (2025, August 14). Kota Jenewa di Swiss gratiskan transportasi umum karena lonjakan polusi. 

BFS (Swiss Federal Statistical Office). (2025). Tourism statistics and mobility reports 2025. https://www.bfs.admin.ch

CEIC Data. (2025). Switzerland: Visitor arrivals and tourism revenue. https://www.ceicdata.com

Clean the Sky. (2025). Innovation in Swiss tourism. https://www.cleanthesky.com

EHL Hospitality Insights. (2025). Strategic solutions for Switzerland tourism. https://hospitalityinsights.ehl.edu

Hoppe, S., & Michl, T. (2017). Transforming the Swiss mobility system towards sustainability. ETH Zurich.

MySwitzerland.com. (2025). Swisstainable: Sustainable travel initiative. https://www.myswitzerland.com

Peeters, P., & Papp, B. (2024). Pathway to zero emissions in global tourism: Opportunities, challenges and implications. United Nations Environment Programme (UNEP).

Schorner, B. (2010). Sustainable mountain tourism development illustrated in the case of Switzerland. SPNHA Review, 6(1), 88–92.

UNEP-WCMC. (2025). Unlocking the potential of national ecosystem assessments. https://www.unep-wcmc.org

Urban Access Regulations EU. (2025). Switzerland urban vehicle restriction policies. https://urbanaccessregulations.eu

Trading Economics. (2025). Switzerland tourism revenues. https://id.tradingeconomics.com