Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati setiap 25 November mengingatkan bahwa isu perlindungan perempuan tidak berhenti di ruang domestik. Dalam konteks sosial modern, ruang publik, termasuk destinasi wisata yang masih sering menjadi tempat yang tidak sepenuhnya aman bagi perempuan. Padahal, sektor pariwisata bukan hanya urusan ekonomi dan hiburan, tetapi juga cerminan nilai sosial dan kemanusiaan suatu negara. Ketika perempuan bepergian, baik untuk bekerja maupun berlibur, rasa aman menjadi bagian mendasar dari pengalaman berwisata.
Gagasan safe tourism for women hadir sebagai bagian penting dari kerangka sustainable tourism yang menempatkan keamanan, kesetaraan, dan partisipasi sosial sebagai elemen utama selain keberlanjutan lingkungan. Menurut laporan World Tourism Organization (UNWTO, 2019), perempuan menyumbang sekitar 54 persen dari total tenaga kerja di sektor pariwisata global. Mereka tidak hanya menjadi tulang punggung dalam sektor perhotelan, transportasi, hingga layanan kreatif, tetapi juga merupakan segmen wisatawan yang terus tumbuh. Namun, kontribusi besar ini tidak selalu diikuti dengan jaminan perlindungan yang setara.
Data global dan nasional memperlihatkan masih banyak perempuan yang menghadapi risiko ketika berwisata. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa wisatawan perempuan kerap mengalami bentuk risiko seperti pelecehan verbal, diskriminasi rasial, dan ancaman fisik (Suroto, Sampe, & Dewantara, 2020). Meski banyak yang tetap melakukan perjalanan, para wisatawan perempuan melakukan berbagai strategi mitigasi risiko, mulai dari memilih teman perjalanan hingga mencari referensi destinasi yang dianggap aman. Fakta bahwa risiko masih menjadi pertimbangan utama bagi wisatawan perempuan menunjukkan perlunya perhatian serius dari pelaku dan pembuat kebijakan pariwisata.
Situasi serupa terjadi di kawasan Asia secara umum. Penelitian oleh Yang, Khoo-Lattimore, dan Arcodia (2017) menunjukkan bahwa wisatawan perempuan Asia yang bepergian sendirian sering menghadapi tekanan sosial, pelecehan di ruang publik, hingga stereotip gender. Nguyen dan Hsu (2022) juga menemukan bahwa dalam konteks Asia Tenggara, norma budaya dan patriarki membuat perempuan yang bepergian sendiri sering dianggap melanggar batas sosial. Ketakutan dan kewaspadaan yang terus-menerus dialami perempuan saat berwisata ini memperlihatkan bahwa pariwisata belum sepenuhnya menjadi ruang aman yang inklusif.
Di Indonesia, beberapa kasus memperkuat pentingnya isu keamanan perempuan dalam pariwisata. Media lokal Bandung Bergerak (2024) melaporkan kasus pelecehan terhadap turis asal Singapura di ruang publik Kota Bandung, yang menunjukkan masih lemahnya perlindungan di destinasi wisata urban. BBC Indonesia (2025) juga mengangkat persoalan serupa dan menyoroti bahwa pelecehan terhadap perempuan di ruang publik masih kerap dianggap sepele. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa keamanan perempuan bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi tanggung jawab kolektif antara pemerintah, pelaku industri wisata, dan masyarakat.
Dari perspektif berkelanjutan, keamanan perempuan menjadi faktor yang sangat menentukan reputasi destinasi. Sustainable tourism menekankan keseimbangan antara lingkungan, ekonomi, dan sosial. Namun, dimensi sosial sering kali diabaikan dalam praktiknya. Padahal, seperti ditegaskan UNWTO dan UN Women (2019), pariwisata berkelanjutan harus menjamin bahwa setiap orang, termasuk perempuan dapat menikmati manfaat dan pengalaman wisata dengan aman dan bermartabat. Destinasi yang aman akan memperkuat trust wisatawan dan meningkatkan competitiveness destinasi tersebut di pasar global. Sebaliknya, destinasi yang tidak aman akan kehilangan daya tarik dan menimbulkan dampak ekonomi negatif, terutama karena perempuan merupakan salah satu segmen pasar terbesar (WTTC, 2024).
Berbagai inisiatif global telah dilakukan untuk menciptakan ruang publik yang aman. Program Safe Cities & Public Spaces oleh UN Women (2020) menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan lintas-sektor dapat mengurangi kekerasan terhadap perempuan di ruang publik, termasuk area wisata. Program ini menekankan pentingnya tata ruang kota yang ramah perempuan, peningkatan pencahayaan, edukasi masyarakat, dan sistem pelaporan cepat. Dalam konteks pariwisata, pendekatan serupa dapat diadaptasi untuk membangun destinasi wisata yang berperspektif gender. Lembaga lain seperti World Travel & Tourism Council juga menegaskan bahwa perempuan adalah kekuatan utama dalam pertumbuhan industri perjalanan global (WTTC, 2024). WTTC mendorong agar kebijakan pariwisata tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi, tetapi juga kesejahteraan dan perlindungan perempuan di seluruh rantai nilai pariwisata. Laporan tersebut memperlihatkan korelasi positif antara destinasi yang aman dan pertumbuhan wisata jangka panjang.
Upaya menuju safe tourism for her juga mulai terlihat di tingkat nasional. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf, 2024a) melalui UN Tourism Conference on Women Empowerment in Tourism menegaskan komitmen Indonesia untuk memperkuat kesetaraan gender dalam sektor parekraf. Dalam pernyataan lain, Kemenparekraf (2024) menyoroti peran strategis perempuan dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan mulai dari kepemimpinan di sektor ekonomi kreatif hingga pelibatan komunitas lokal perempuan dalam pengelolaan destinasi. Komitmen ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa perempuan bukan hanya objek wisata, tetapi subjek penting dalam membangun pariwisata yang inklusif dan aman.
Namun, berbagai tantangan masih menghambat terwujudnya ekosistem wisata yang aman bagi perempuan. Pertama, belum semua kebijakan destinasi memasukkan indikator keamanan perempuan dalam penilaian keberlanjutan. Kedua, budaya victim-blaming dan norma patriarki masih kuat, sehingga korban sering enggan melapor. Ketiga, edukasi bagi pelaku wisata seperti pemandu, pengemudi, dan petugas hotel tentang kesetaraan gender dan pencegahan pelecehan masih minim. Selain itu, data statistik tentang kekerasan terhadap wisatawan perempuan masih terbatas dan jarang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin atau konteks pariwisata.
Untuk menjawab tantangan tersebut, sejumlah langkah strategis bisa dilakukan. Pertama, memberikan pelatihan gender awareness dan keamanan bagi pelaku wisata agar memahami perspektif perempuan dalam layanan publik. Kedua, membangun sistem pelaporan berbasis digital di destinasi wisata yang mudah diakses oleh wisatawan, dengan jaminan kerahasiaan dan tindak lanjut cepat. Ketiga, memperkuat kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan komunitas perempuan dalam menciptakan safe travel network di tiap daerah. Keempat, melakukan audit berkala terhadap fasilitas publik, seperti penerangan jalan, transportasi malam, dan keamanan akomodasi sebagai bagian dari penilaian destinasi women-friendly.
Selain itu, penting bagi media dan industri wisata untuk berperan dalam membentuk narasi positif. Artikel BBC Travel (2024) tentang negara-negara yang dianggap aman untuk perempuan dan artikel Tempo English (2024) tentang Bali sebagai destinasi yang disukai wisatawan perempuan solo menunjukkan bahwa citra keamanan dapat menjadi nilai jual tersendiri. Ketika keamanan menjadi bagian dari identitas destinasi, wisatawan perempuan akan lebih percaya diri untuk bepergian dan mengeksplorasi. Keamanan perempuan dalam pariwisata bukan hanya persoalan moral atau hukum, tetapi juga strategi keberlanjutan. UNWTO (2024) menekankan bahwa destinasi yang aman bagi perempuan akan lebih mudah membangun kepercayaan global, meningkatkan investasi, dan memperluas pasar wisata. Oleh karena itu, membangun pariwisata yang berperspektif gender harus dilihat sebagai investasi sosial jangka panjang.
Pada akhirnya, safe tourism for her adalah wujud nyata dari pariwisata berkelanjutan yang humanis. Destinasi yang aman bagi perempuan bukan hanya melindungi individu, tetapi juga menegaskan bahwa industri ini menghargai martabat manusia. Seperti disampaikan oleh UNWTO (2024), “Sustainable tourism starts with safe spaces, especially for her.”
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 17 November 2025
Writer:
Sylviatul Muthqia
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in women's empowerment issues.
Referensi
Bandung Bergerak. (2024, April 15). Pelecehan turis Singapura di Bandung: Ruang publik Kota Kembang belum aman dari kekerasan seksual. https://bandungbergerak.id/article/detail/1598569/pelecehan-turis-singapura-di-bandung-ruang-publik-kota-kembang-belum-aman-dari-kekerasan-seksual
BBC Indonesia. (2025, Maret 10). Kasus kekerasan di ruang publik Indonesia dan tantangan perlindungan perempuan. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c6p49qdl25qo
BBC Travel. (2024, April 2). Five countries that are safer for women. https://www.bbc.com/travel/article/20230402-five-countries-that-are-safer-for-women
Burdisso, A. (2023). Mapping the geography of women’s fear. Lund University. https://lup.lub.lu.se/student-papers/search/publication/9117709
Kemenparekraf. (2024a). Siaran Pers: UN Tourism Conference on Women Empowerment in Tourism jadi momen perkuat kesetaraan gender di sektor Parekraf. https://www.kemenpar.go.id/berita/siaran-pers-un-tourism-conference-on-women-empowerment-in-tourism-jadi-momen-perkuat-kesetaraan-gender-di-sektor-parekraf
Kemenparekraf. (2024b). Siaran Pers: Sesmenparekraf – Perempuan pegang peran strategis kembangkan Parekraf berkelanjutan. https://www.kemenpar.go.id/pelatihan-parekraf/siaran-pers-sesmenparekraf-perempuan-pegang-peran-strategis-kembangkan-parekraf-berkelanjutan
Nguyen, M., & Hsu, C. (2022). Perceptions of risk among solo female travelers in Southeast Asia. Journal of Tourism and Hospitality Research, 8(1), 45–60. https://ejournal.upi.edu/index.php/Jithor/article/view/51021/31456
Suroto, P. Z., Sampe, M. Z., & Dewantara, M. H. (2020). Eksplorasi pengalaman terhadap risiko berwisata pada konsumen wisata perempuan di Indonesia. Journal of Tourism Destination and Attraction, 8(2), 127–135.
Tempo English. (2024, March 21). Safe travel: 7 reasons why Bali is loved by women solo travelers. https://en.tempo.co/read/1897678/safe-travel-7-reasons-why-bali-is-loved-by-women-solo-travelers
UN Women. (2020). Safe Cities and Public Spaces: Global Flagship Programme Initiative. https://www.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women/creating-safe-public-spaces
UNWTO. (2019). Global Report on Women in Tourism (Second Edition). World Tourism Organization. https://www.untourism.int/publication/global-report-women-tourism-2-edition
UNWTO. (2024). International Tourism Highlights – 2024 Edition. World Tourism Organization. https://www.e-unwto.org/doi/book/10.18111/9789284425808
WTTC (World Travel & Tourism Council). (2024, March 5). Women are a driving force for travel and tourism says WTTC. https://wttc.org/news/women-are-a-driving-force-for-travel-and-tourism-says-wttc
Yang, E., Khoo-Lattimore, C., & Arcodia, C. (2017). Constructing space and self through risk-taking: A case of Asian solo female travelers. Tourism Management, 63, 140–150. https://research-repository.griffith.edu.au/handle/10072/372798
Web in Travel. (2025, March 4). Women travellers in Asia: Driving new hospitality trends in 2025. https://www.webintravel.com/women-travellers-in-asia-driving-new-hospitality-trends-in-2025