Tak Kenal Maka Tak Sayang: Kisah Tonotwiyat (Hutan Perempuan)

 


Kampung Enggros 

Sumber: Irene/pinktravelogue.com

 

Langit cerah yang berkumandang di Kampung Enggros, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua menarik perhatian siapapun yang melihatnya. Pemandangan yang ditawarkan kampung berpenduduk 395 jiwa ini sangat jarang ditemukan, apalagi di perkotaan. Kampung yang terletak di atas wilayah perairan teluk Youtefa ini akan menyambut setiap orang yang berkunjung dengan panorama kampung berwarna-warni yang seolah-olah terapung. 

Jalan raya di kampung ini adalah dermaga kayu yang menghubungkan bangunan satu dengan bangunan lainnya. Material yang digunakan pada rumah warga di kampung ini juga menggunakan bahan kayu. Walaupun demikian, Enggros telah memiliki fasilitas yang memadai, seperti pos polisi, klinik, kantor kepala desa, gereja, hingga sarana air bersih dan listrik.

 

Harta Karun di Kampung Enggros

Ibarat menemukan sebuah harta karun, di sebelah timur Kampung Enggros terdapat hutan bakau yang dilestarikan oleh perempuan Enggros. Uniknya, hutan ini juga hanya boleh dimasuki oleh perempuan. 

Perempuan Enggros mencari sumber penghidupan di rimbunan pohon bakau di dalam hutan ini atau yang dikenal sebagai Hutan Perempuan. Masyarakat lokal menyebut tradisi mengunjungi hutan oleh perempuan di Enggros dengan sebutan Tonotwiyat. Tonot berarti hutan bakau, sedangkan Wiyat artinya ajakan untuk datang ke hutan bakau. Tonotwiyat juga dijadikan judul salah satu film dokumenter karya Imaji Papua yang menceritakan hutan bakau ini. 

“Hutan tersebut hanya bisa diakses dengan kapal kayu kecil, bukan tipe hutan bakau yang bisa dimasuki untuk kegiatan trekking,” Kata Irene Komala, seorang traveler dan lifestyle blogger, saat wawancara dengan tim Women in Tourism Indonesia (WTID). 

Pada tahun 2020, Irene pergi meliput ke hutan perempuan bersama tim dari Econusa Foundation, Non-Governmental Organization (NGO) yang menjembatani komunikasi antara pemangku kepentingan di wilayah timur Indonesia untuk pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dengan masyarakat lokal. Khususnya di tanah Papua dan Maluku. Dalam perjalanan ini, Irene atau yang juga dikenal dengan pink travelogue ditemani oleh Mama Yos dan Mama Linda, perempuan Kampung Enggros.

Irene Komala dan Mama Yos di Hutan Perempuan

Sumber: Irene/pinktravelogue.com

Hutan perempuan dapat dikunjungi dan terbuka untuk umum. Wisatawan dapat datang ke Dermaga Tanjung Ciberi dan meminta tolong kepada warga lokal untuk diantar ke Hutan Perempuan. Setelah itu wisatawan akan berkoordinasi dengan mama yang akan mengantar dan juga kepada ondoafi (kepala suku). Dari Pantai Ciberi, wisatawan akan disambut menggunakan speedboat untuk menuju Kampung Enggros. Di sini laki-laki masih boleh bergabung. Namun ketika memasuki Kawasan hutan, para perempuan harus menaiki perahu kecil.

 

Tangkapan kerang Bia Nor oleh Mama Linda

Sumber: Irene/pinktravelogue.com

Di Hutan Perempuan wisatawan disuguhkan dengan pemandangan hutan bakau yang lebat. Air payau di hutan bakau ini tidak begitu dalam, bahkan jika sedang surut dapat terlihat dasarnya. Selain itu ada bia (kerang), udang, kepiting, dan ikan di hutan ini yang biasa diambil perempuan Enggros sebagai pasokan bahan pangan. Bia merupakan komoditas yang paling sering ditemukan. Ada 114 jenis bia di Hutan Perempuan. Namun Bia Nor menjadi bia terfavoritperempuan Enggros karena khasiatnya untuk mengatasi penyakit diabetes dan rasanya yang sudah enak walaupun tidak dimasak. 

“Hal menarik yang saya temukan adalah Bia Nor hasil tangkapan mama, saya belum pernah lihat kerang besar-besar seperti itu,” ucap Irene.

Biasanya perempuan Enggros datang ke hutan ini sekitar pukul 06.00-08.00 pagi. Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi jika berkunjung ke Hutan Perempuan. Salah satunya adalah mereka tidak boleh masuk di malam hari. Selain itu saat masuk, perempuan juga tidak boleh bertengkar dengan suami atau keluarga, turun ke air saat haid, dan berkata jorok atau kasar. 

Di dalam hutan, perempuan Enggros juga saling bertukar pikiran dan mencari tangkapannya tanpa memakai busana. “Saya melihat Mama Linda menanggalkan pakaian dan menceburkan diri ke sana lalu mengambil Bia Nor,”kata Irene. Maka dari itu, laki-laki dan juga waria dilarang masuk ke Hutan Perempuan. Kalau kedapatan melanggar, maka akan dikenakan sanksi adat yaitu batu manik-manik. Harganya cukup mahal dan berharga, biasanya digunakan sebagai mas kawin. 

 

Arti penting hutan perempuan untuk perempuan Enggros

Kebudayaan yang menarik dalam budaya Enggros adalah, baik laki-laki dan perempuan memiliki bagian wilayah sendiri untuk mencari bahan pangan sehari-hari dan berdiskusi. Kalau perempuan mencari bahan pangan di hutan bakau, laki-laki mencari bahan pangan di laut.

 “Perempuan Enggros bebas cerita apapun di sana (Hutan Perempuan) karena para-para itu tempat nongkrongnya para lelaki,” kata Irene. Para-para merupakan sebutan untuk balai-balai rumah di Enggros tempat para lelaki berdiskusi membicarakan soal adat, permasalahan positif, dan sebagainya. Perempuan dianggap tidak perlu mendengar perbincangan tersebut. Di para-para perempuan juga tidak punya hak untuk berbicara. “Jadi hanya Hutan Perempuan ini tempat mereka menceritakan hal atau masalah apa saja,” tambah Irene. Alam menjadi sahabat mereka. Hutan Perempuan bak para-para bagi perempuan Enggros. Maka dari itu, hutan ini sangat berarti untuk perempuan-perempuan di sana. 

 

Ancaman Hutan Perempuan.

Sekarang ini, kondisi Hutan Perempuan sedang tidak baik-baik saja. Lagi-lagi ini ulah manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. “Sampah yang berasal dari Pantai lalu ke Teluk Youtefa, berakhir dan menyangkut di akar bakau Hutan Perempuan. Padahal biasanya masyarakat mencari bahan makanan disana, baik untuk dimakan maupun dijual. Kalau sumber daya alam nya tercemar tentu membahayakan tubuh manusia, kan dikonsumsi,” Ujar Irene. Hutan Perempuan yang sudah dilestarikan oleh perempuan Enggros dirusak begitu saja.

Melansir dari Mongabay.co.id, tampak tumpukan kulkas, mesin cuci bekas, bantal, tikar hingga pemasak nasi di antara akar-akar bakau. Bahkan ini belum termasuk tumpukan botol plastik dan berbagai jenis sampah lain yang tersebar di banyak titik. “Ia tutup kami punya hasil, Jadi kami turun mau raba bia, kami injak dulu sampah, kasi pindah dulu baru kasi turun kaki, Juga ia pun tidak banyak seperti dulu. Sekarang kalau kami mau jual harus tampung dulu isi di keranjang. Sudah ada empat atau lima tumpuk baru kami ke pasar,” kata Mama Adriana Youwe, dalam Mongabay.



Bak air dari fiber yang tersangkut di dahan bakau

Sumber: Asrida Elisabeth/Mongabay

“Semoga Hutan Perempuan tetap lestari, dirawat dan dilindungi bersama dengan Kerjasama dari pemerintah dan masyarakat, agar hutan dan laut juga tidak tergerus oleh pembangunan. Semoga tradisinya bisa dipertahankan karena Hutan Perempuan hanya ada di Kampung Enggros,” ucap Irene. Saat ini Hutan Perempuan juga semakin terancam karena adanya rencana proyek pembangunan venue dayung PON XX Papua 2021.

 “What we are doing to the forests of the world is but a mirror reflection of what we are doing to ourselves and to another one” ( Apa yang kita lakukan pada hutan-hutan dunia adalah cerminan atas apa yang kita lakukan pada diri sendiri dan orang lain). Satu kalimat bijaksana yang diucapkan oleh seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India, Mahatma Gandhi, yang mungkin dapat sedikit menjelaskan mengapa manusia tega melakukan kejadian nahas tersebut. Terkadang manusia bisa se-apatis dan se-bebal itu.

 

Belum banyak yang kenal dengan Hutan Perempuan

Penulis mengadakan survei cepat untuk mencari tahu sedikit informasi tentang hal ini. Angket juga dibuka untuk umum, bebas diisi oleh siapa saja. Survey ini berhasil mengumpulkan 114 responden yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Ada Jakarta, Yogyakarta, Tasikmalaya, Solo, Jayapura, Manado, Riau, Medan, Tangerang, Palembang, Wonosobo, Samarinda, Pontianak, Bekasi, Depok, Mojokerto, Denpasar, Makassar, Surabaya, Blitar, Klaten,Banjarnegara, Ciamis, Semarang, Bandung, Bali, Garut, Cirebon, Purbalingga, Sidikalang, Bogor, Kudus, Salatiga, Malang, Ngawi, dan Lumajang.

Berdasarkan hasil survey, 98 dari 114 responden tidak mengetahui Kampung Enggros. Sedangkan untuk pertanyaan tentang Hutan Perempuan/Tonotwiyat, hanya 9 responden yang mengetahui hutan ini. Dari 9 responden ini, ada yang berhasil menjelaskan Hutan Perempuan dengan tepat, tetapi ada pula yang sekedar “hanya pernah mendengar.”

 

 

“Orang yang tinggal di Jayapura rata-rata tidak tahu ada Hutan Perempuan, aku kebetulan di kasih tahu dan suka explore hutan,” ucap Anggia Aurora, seorang mahasiswi yang berasal dari Jayapura. Menurut Anggia, orang yang sibuk kerja (di Jayapura),biasanya tidak banyak yang tahu tentang hutan ini, kecuali yang suka meng-explore kampung. 

 “Nah, untuk ke Tonotwiyat ini setahuku harus naik perahu (di Papua menyebutnya jonson), kemudian menyeberangi teluk Youtefa, jadi hitungannya panas-panasan melintasi laut sehingga aku belum punya kesempatan kesana,” kata Anggia. 


Anggia Aurora saat berada di dermaga teluk Youtefa, seberang Kampung Enggros 

Sumber: Anggia Aurora

Jarak dari Kota Jayapura ke kampung Enggros itu sekitar 20 menitan jika melewati jalan pintas dan 30 menit apabila melewati kota (jalur padat). Terkadang apabila air laut sedang surut, akan muncul daratan baru. Biasanya anak-anak akan bermain sepak bola di sana. 

 “Kebanyakan orang-orang di sini tahu Kampung Enggros tetapi tidak dengan Hutan Perempuan. Biasanya mereka nyasarnya wisata keliling-keliling Kampung Enggros atau nongkrong di pantai sekitar situ,” ucap Anggia. “ Atau…mungkin tergantung sih, kalau mereka terbuka sama isu perempuan mungkin tahu,” tambah Anggi.

Hasil survei singkat ini sesuai dengan dugaan awal penulis, kalau sebenarnya Hutan Perempuan ini masih jarang dikenal. Mungkin, ini juga menjadi salah satu alasan mengapa permasalahan (terkait lingkungan) di Hutan Perempuan sulit teratasi. Kekayaan alam dan keunikkan budaya yang dimiliki Hutan Perempuan saja belum sampai ke telinga khalayak masyarakat. Apalagi permasalahannya. Padahal memiliki urgensi yang sangat besar untuk dijaga dan dilestarikan. Memang benar kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang.”

 

Sumber:

https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/menelusuri-asal-usul-penduduk-jayapura-di-kampung-enggros-dan-pulau-debi/

https://www.pinktravelogue.com/2020/12/hutan-perempuan-kampung-enggros-papua.html

https://www.papua.go.id/view-detail-page-205/data-luas-wilayah-dan-jumlah-penduduk.html

https://www.mongabay.co.id/2019/12/22/nasib-hutan-perempuan-kampung-enggros/

 

ditulis oleh Jessica Ester

dipublikasikan oleh womentourism.id I 16 Agustus 2021