Source: goodtourismblog.com
Dengan tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak, isu eksploitasi seksual anak tentu menjadi perhatian utama bagi setiap negara di dunia. Kekerasan seksual terhadap anak, di tengah fase perkembangannya, tidak dapat dimungkiri memberikan trauma dan berbagai masalah psikologis lainnya. Hingga pada akhirnya, masa lalu ini mengganggu fungsionalitasnya sebagai individu. Secara spesifik, kasus-kasus ini pun terjadi di dalam ruang lingkup pariwisata dan dikenal sebagai child sex tourism (CST) (Lintang, 2024). Di bawah istilah pariwisata seks, tidak terhitung berapa anak menjadi korban turis-turis predator dari seluruh belahan dunia. Di samping eksistensi pariwisata seks sebagai salah satu bentuk pariwisata, anak-anak tidak seharusnya ada dalam industri pariwisata satu ini. Pedofilia dan pelecehan merupakan salah dua alasan bahwa anak-anak tidak boleh terlibat.
Dalam konteks pariwisata, Koning dan van Wilsem (2023) menerangkan bahwa eksploitasi seksual anak-anak bahkan tidak hanya terjadi di negara-negara destinasi wisata, tetapi juga negara-negara lainnya. Di saat bersamaan, keduanya menekankan bahwa negara-negara destinasi wisata sangat memengaruhi tingkat eksploitasi seksual, terlebih lagi dengan adanya pariwisata seks di dalamnya. Dalam diskursus ini, Koning dan van Wilsem menggunakan satu istilah spesifik, yaitu sexual exploitation of children in the context of travel and tourism (SECTT). Dalam penelitian lain, Aston et al (2023) menguatkan posisi atas pertentangan terhadap eksploitasi seksual anak-anak dengan mengatakan bahwa bahkan wisatawan pun mengecam keberadaan anak-anak dalam pariwisata seks. Maka dari itu, isu ini perlu diperhatikan oleh berbagai pemangku kepentingan, khususnya pemerintah.
Dewasa ini, CST seakan-akan sudah menjadi rahasia umum, sehingga sering kali dinormalisasikan di beberapa destinasi wisata Indonesia. Secara kompleks, lingkaran CST dipengaruhi oleh berbagai aspek, mulai dari budaya hingga ekonomi. Hutang, sebagai bagian dari aspek ekonomi, menjadi salah satu faktor terbesar terlahirnya eksploitasi seksual anak-anak dalam pariwisata (Bah et al, 2022). Sebagian besar anak-anak, terutama perempuan, dengan beban hutang tersebut akhirnya terpaksa masuk ke dalam lingkaran setan CST. Untuk menghentikan lingkaran setan CST, di samping meregulasi permintaan akan pariwisata seks, mengatur rantai penawaran pariwisata ini pun diperlukan pula (Hulsbergen & Nooteboom, 2022). Selain dari itu, perlindungan dan pemulihan korban perlu menjadi prioritas utama dalam mengatasi eksploitasi seksual anak-anak (Dona et al, 2024).
Dalam beberapa kasus, eksploitasi seksual anak-anak sering kali bersembunyi di balik nama agama. Diberitakan dari Los Angeles Times, Yang dan Sijabat (2024) menemukan bahwa salah seorang korban baru berumur 17 tahun ketika serangkaian hal buruk itu dimulai. Dalam berita tersebut, diterangkan bahwa turis mancanegara berumur 50 tahun menikahinya untuk sekadar berhubungan seksual. Justifikasi keburukan ini biasa disebut dengan nikah mutah atau dalam istilah lain bahkan dikenal dengan pleasure marriage (Joshi, 2024). Dengan kata lain, korban dinikahi untuk sementara waktu demi kebutuhan dan keinginan turis semata. Namun, terlepas dari alasan apa pun itu, alasan ini tidak lain dan tidak bukan tentu merugikan korban, bahkan dalam jangka panjang. Bahkan—anak-anak dalam hal ini, korban sangat riskan mengalami trauma, sehingga merusak masa depan mereka.
Terlepas dari problematika pariwisata seks dalam megaindustri ini, anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, tentu tidak seharusnya ada di dalamnya. Setiap pemangku kepentingan dalam sektor pariwisata bertanggung jawab untuk memastikan perlindungan dan pemulihan anak-anak korban eksploitasi seksual. Faktor ekonomi, sebagai salah satu alasan terbesar terciptanya lingkaran setan ini, perlu diperhatikan oleh pemerintah. Selain pemerintah, individu atau kelompok lain pun perlu turut mendukung perlindungan dan pemulihan ini dengan memutus lingkaran setan di dalamnya, baik dari segi permintaan maupun penawaran. Pernikahan mutah—sebagaimana tertera dalam agama—tentu tidak dapat dijadikan justifikasi sama sekali. Dengan demikian, lingkaran setan eksploitasi seksual anak-anak—apa pun alasannya—dapat diputus demi kebaikan anak di masa depan.
Referensi
Aston, J., Wen. J. & Yang, S. (2023). Tourists' Perceptions of and Reactions to Child Sex Tourism: An Exploratory Qualitative Investigation. Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics, 35(5), 1206-1223. https://doi.org/10.1108/APJML-08-2021-0589.
Bah, Y. M., Artaria, M. D. & Suen, M. (2022). Child Sex Tourism: A Case Study in Surabaya, Indonesia. Journal of Developing Societies, 38(1), 103-117. https://doi.org/10.1177/0169796X21106839.
Dona, S. W. A., Bloxsom, G., Green, J., Angeles, M. R., Humphreys, C. & Gold, L. (2024). Economic Evaluation of Prevention Interventions for Child Sexual Exploitation or Child Sexual Abuse: A Systematic Review. Trauma, Violence & Abuse. https://doi.org/10.1177/15248380241284782.
Hulsbergen, F. & Nooteboom, G. (2022). Child Sex Tourism: Ambiguous Spaces in Bali. Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie, 114(1), 28-42. https://doi.org/10.1111/tesg.12539.
Joshi, K. (2024, October 15). What Are 'Illegal Pleasure Marriages' Happening in Indonesia. ED Times. https://edtimes.in/what-are-illegal-pleasure-marriages-happening-in-indonesia/.
Koning, A. & van Wilsem, J. (2022). The Context of Sexual Exploitation of Children by Tourists and Travelers: A Cross-National Comparison of Destination Countries and Non-Destination Countries. International Criminal Justice Review, 33(4), 349-366. https://doi.org/10.1177/10575677221081875.
Lintang. (2024, September 25). UGM Student Team Unveils Dark Side of Child Sex Tourism in Bali. Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/en/news/ugm-student-team-unveils-dark-side-of-child-sex-tourism-in-bali/.
Yang, S. & Sijabat, D. M. (2024, September 11). Sex Tourism in Indonesia Sells Itself as Islamic Temporary Marriage. Los Angeles Times. https://www.latimes.com/world-nation/story/2024-09-11/indonesia-divorce-village-contract-marriage-sex-tourism.
Writer:
Hanif Aflah
Universitas Gadjah Mada Student of Undergraduate Tourism Program
Artikel ini dipublikasikan di laman womentourism.id | 3 April 2025