Source: spectrumnews1.com
Dengan lebih dari 650 juta kasus di dunia (Tremeau, 2024), kekerasan seksual menandakan alarm darurat untuk memperingatkan kemungkinan munculnya korban-korban baru. Korban kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan, sangat riskan untuk mengalami trauma, sehingga mengganggu fungsinya sebagai makhluk sosial. Namun di saat bersamaan, korban kekerasan seksual sayangnya—sampai saat ini—masih harus menghadapi victim blaming. Adapun salah satu alasan victim blaming ini masih eksis hingga hari ini karena just world beliefs (JWB). JWB merupakan pemikiran bahwa kekerasan seksual pun disebabkan pula oleh korban itu sendiri (Pinciotti & Orcutt, 2021). Fakta ini dibantahkan dalam Pameran What Were You Wearing? oleh Texas A&M University (Perry, 2019) bahwa berpakaian tertutup pun tidak meniadakan kemungkinan terjadinya kekerasan seksual.
Dalam rape culture, sikap dan perilaku victim blaming atas alasan pakaian memiliki istilah tersendiri, yaitu modesty culture. Modesty culture mengacu pada nilai dan norma mengenai cara bersikap, berperilaku, hingga berpakaian. Dalam isu rape culture, pakaian disebut sebagai salah satu sebab terjadinya kekerasan seksual. Johnson dan Johnson (2021) dalam penelitiannya menyertakan modesty dalam the conformity to feminine norm inventory (CFNI). Bersama dengan sexism, hostility toward women, adversarial sexual beliefs, dan acceptance of violence, traditional gender roles—termasuk di dalamnya CFNI—merupakan komponen dalam model rape culture. Alih-alih membahas modesty culture dalam peran gender tradisional, Susanti et al (2023) menekankan bahwa media perlu memfokuskan masalah pada pelaku kekerasan seksual, bukan mengekspos korban.
Dalam isu global ini, gender sedikit banyak memengaruhi posisi seseorang atas victim blaming. Berdasarkan penelitian terdahulu, sebagian besar laki-laki cenderung menyalahkan korban kekerasan seksual dibanding responden perempuan (de la Torre Laso & Rodríguez-Díaz, 2022). Hasil tersebut lebih kurang dipengaruhi oleh pengalaman kekerasan seksual, baik dari orang tersebut maupun orang lain. Di samping itu, pembenaran atas victim blaming pun berkaitan dengan budaya, termasuk pula agama di dalamnya. Betul memang terdapat beberapa dalil agama mengenai aturan berpakaian. Namun di sisi lain, dalih ini disebabkan oleh patriarki dalam interpretasi beberapa dalil agama (ait Ali & el Majdoubi, 2024). Misinterpretasi ini disebut sebagai pembenaran atas pelaku kekerasan seksual dan penghakiman atas sikap, perilaku, dan pakaian korban kekerasan seksual.
Dalam pariwisata, peristiwa serupa pernah terjadi di Jharkhand, India. Dilansir dari the Independent (2024), seorang perempuan mengalami kekerasan seksual saat sedang berada di India. Berdasarkan peristiwa buruk tersebut, seorang jurnalis laki-laki memperingatkan turis perempuan lainnya untuk berhati-hati selama berwisata di India. Merespon hal tersebut, Ketua National Commission for Women (NCW) India menuding berita tersebut mencemarkan reputasi India. Menanggapi balik respon tersebut, beberapa individu menyebut bahwa NCW melakukan victim blaming ketimbang menanggapi kasus-kasus kekerasan seksual dan menciptakan keamanan dan kenyamanan lebih bagi turis. Dikutip pula dari artikel tersebut, laporan kasus kekerasan seksual di India belum mampu memberikan data aktual mengingat adanya sikap dan perilaku victim blaming bagi korban kekerasan seksual.
Pada faktanya, segala bentuk kejahatan, tidak terkecuali dengan kekerasan seksual, terjadi karena pelaku memiliki niat buruk dan memilih untuk melakukannya. Maka dari itu, sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat ketika korban kekerasan seksual disalahkan dan dituduk 'tidak menolak'. Dalam ilmu psikologi, sekurangnya terdapat tiga respon seseorang ketika menghadapi bahaya: fight, flight, dan freeze. Dalam kasus kekerasan seksual, tidak mustahil korban merasa tidak mampu melawan atau freeze. Tentu selain korban itu sendiri, orang lain mungkin menganggap hal tersebut hanya alasan belaka. Namun, untuk berempati dan bersimpati terhadap korban kekerasan seksual, orang lain tidak harus mengalaminya langsung. Setidaknya, sekadar dengan mendengarkan ceritanya, hal tersebut lebih dari cukup untuk menolong korban selama proses pemulihan.
Referensi
Ait Ali, S. & el Majdoubi, I. (2024). Rape Culture and Victim Blaming: A Historical and Religious Perspective. Journal of Gender, Culture and Society, 4(1), 39-46. https://doi.org/10.32996/jgcs.2024.4.1.5.
De la Torre Laso, J. & Rodríguez-Díaz, J. M. (2022). The Relationship between Attribution of Blame and the Perception of Resistance in Relation to Victims of Sexual Violence. Frontiers in Psychology, 13, 1-11. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.868793.
Johnson, N. L. & Johnson, D. M. (2021). An Empirical Exploration into the Measurement of Rape Culture. Journal of Interpersonal Violence, 36(1-2), 70-95. https://doi.org/10.1177/0886260517732347.
Perry, A. (2019, December 23). "What Were You Wearing?": A Roving Campus Art Exhibit Addresses Misconceptions about Sexual Assault. Texas Monthly. https://www.texasmonthly.com/arts-entertainment/art-exhibit-what-were-you-wearing-texas-am/.
Pinciotti, C. M. & Orcutt, H. K. (2021). Understanding Gender Differences in Rape Victim Blaming: The Power of Social Influence and Just World Beliefs. Journal of Interpersonal Violence, 36(1-2), 255-275. https://doi.org/10.1177/0886260517725736.
Rai, A. (2024, March 5). India Women's Commisioner Criticised over Response to Spanish Tourist's Rape. The Independent. https://www.independent.co.uk/asia/india/india-spanish-tourist-rape-ncw-rekha-sharma-b2507180.html.
Susanti, R. H., Sardila, V., Aramudin & Syarif, M. I. (2023). Modesty & Rape Culture: Indonesian Media's Gender-Sensitive Exploration. Sexuality and Gender Studies Journal, 1(2), 24-35. https://doi.org/10.33422/sgsj.v1i2.492.
Tremeau, V. (2024, October 9). Over 370 Million Girls and Women Globally Subjected to Rape or Sexual Assault as Children. UNICEF. https://www.unicef.org/press-releases/over-370-million-girls-and-women-globally-subjected-rape-or-sexual-assault-children.
Writer:
Hanif Aflah
Universitas Gadjah Mada Student of Undergraduate Tourism Program
Artikel ini dipublikasikan di laman womentourism.id | 3 April 2025