Fitri Ningrum (Dok. Istimewa)
Kali ini, Women in Tourism Indonesia berkolaborasi dengan Mauren Fitri untuk menerbitkan artikel Women in Tourism Recognition atau yang biasa disingkat sebagai #WTIDrecognition. #WTIDrecognition kali ini membahas tentang platform edukasi dan promosi untuk pengembangan komunitas dan sustainable tourism yang diinisiasi oleh salah satu women in tourism Indonesia.
Beberapa tahun belakangan ini, sustainable tourism menjadi isu yang sering diperbincangkan oleh para pelaku industri pariwisata di Indonesia. Para pegiat wisata pun mulai menggalakkan konsep ini. Mereka bukan lagi berpikir soal banyaknya keuntungan yang didapatkan secara ekonomi industri ini, tapi bagaimana pariwisata bisa memberikan dampak positif untuk segala aspek: baik secara ekonomi, sosial, lingkungan, hingga manfaat untuk masyarakat lokal.
… dan ini salah satunya.
CAVENTER namanya, sebuah platform edukasi dan promosi untuk pengembangan komunitas dan pariwisata berkelanjutan. Saya tak sengaja “menemukannya”. Setelah beberapa kali reschedule, saya akhirnya bisa bercakap-cakap dengan foundernya melalui sambungan telefon.
“Halo. Kenalin, aku Fitri Utami Ningrum. Aku adalah founder sekaligus program director dari CAVENTER..”, sapanya kepada saya.
Ia pun kemudian banyak bercerita tentang CAVENTER kepada saya.
“Kalau aku sendiri bilangnya, CAVENTER itu platform edukasi dan promosi untuk pengembangan komunitas dan pariwisata berkelanjutan. Nama CAVENTER sendiri dibuat dari singkatan, Culture, Art, Community Development, and Ecotourism Center. Jadi key point-nya tentang community development, goals-nya sustainable tourism.”
CAVENTER didukung oleh sekumpulan tour operator yang peduli dengan pengembangan komunitas dan pariwisata berkelanjutan. Fitri sendiri sebelumnya mengembangkan Campa Tour—sebuah tour operator yang spesifik menjual trip sejarah dan budaya. Karena sering membawa wisatawan dan juga program ke daerah, Fitri merasa bahwa masih banyak tempat di Indonesia punya potensi besar untuk mensejahterakan masyarakat namun perlu pengembangan. Jadi, dia mulai serius untuk bikin CAVENTER ini.
“CAVENTER berangkat dari dua masalah yang mendasar tapi saling terkait. Pertama, fakta di lapangan bilang kalau temen-temen komunitas pegiat wisata itu kekurangan kapasitas di sisi SDM. Dan yang kedua yaitu masalah pemasaran. Kan, teman-teman pegiat wisata di daerah ini sudah mengembangkan sesuatu, lalu apa tindak lanjutnya? Bagaimana pemasaran yang tepat, bagaimana promosinya? Itu yang yang jadi PR..”
Secara nggak langsung, tour operator memang punya peran dalam mempromosikan destinasi wisata ini dengan “menjual” trip-nya. Tapi kalau produk/jasa yang “dijual” ini kurang bagus, akhirnya ada customer yang komplain—hal ini perlu diperbaiki dari akar-akarnya.
Fitri Ningrum (Dok. Istimewa)
Fitri kemudian berpikir, kalau semua hal dikerjakan sendirian, pastinya akan menghabiskan waktu sangat panjang. Apalagi CAVENTER fokus di pemberdayaan SDM, ibaratkan kayak mendidik anak—dari bayi sampai besar. Makanya Fitri mengajak beberapa teman yang punya visi sama (2017) seperti Wisata Sekolah, Wanderlust Indonesia, Travacello, Geotour.id, Capture My Trip, dan Indogenous.
Fitri mengajak teman-teman pengelola tour operator tersebut bukan tanpa alasan. Ia mengambil kesamaan yakni, tour operator ini muncul di era digital marketing yang lagi naik daun (sekitar tahun 2014). Mayoritas anak muda, mereka punya concern untuk mengembangkan pariwisata yang berdampak ke komunitas, sosial, budaya, dan lingkungan.
Kalau Kemenpar sedang fokus ke 10 Bali Baru, Fitri justru mengajak teman-teman tour operatornya untuk “menggarap” daerah timur seperti NTT, Maluku, dan Papua atau daerah “baru” lainnya. Menurutnya, potensi wisata di sana sangat bagus, namun sekali lagi SDM-nya belum mumpuni sehingga perlu disentuh oleh CAVENTER.
“Jadi aku ajak temen-temen ini untuk brainstorming, kemudian bikin beberapa modul sederhana. Modul itu yang menjadi landasan untuk memberikan pelatihan ke komunitas dan masyarakat.
“KPI Caventer adalah pelatihan, sharing knowledge. Kami selaku praktisi akan berbagi pengalaman dan pengetahuan ke temen-temen di daerah dengan membawa sudut pandang sebagai tour operator. Harapannya, komunitas dan masyarakat lokal ini akan paham bagaimana membuat paket wisata yang baik untuk ditawarkan kepada calon customer. Apa saja yang dibutuhkan, bagaimana alur mengelola sebuah tour. Karena rata-rata komunitas dan masyarakat lokal nggak punya banyak insight di sini..”
“Lalu, setelah diberikan pelatihan, tempat dan SDM-nya sudah siap, barulah kami share ke temen-temen tour operator yang mendukung CAVENTER untuk dibantu promosikan.”, lanjutnya bercerita.
Menurut Fitri, hal yang diantisipasi adalah mempromosikan tempat yang belum siap karena dampaknya akan kurang bagus. Bisa jadi customer akan kecewa dan nggak balik lagi ke sana, atau kalau promosinya berlebihan—tempat tersebut bakal terlalu ramai [dan rusak] karena belum siap menerima pengunjung dalam jumlah besar.
Materi pelatihan yang disampaikan ke temen-temen komunitas dan masyarakat lokal juga beragam. Mulai dari bagaimana membangun destinasinya, menghitung biaya perjalanan, membuat itinerary, membawa tour wisatawan dengan baik, hingga mendokumentasikan perjalanan wisatawan dengan apik, dan bagaimana mempromosikannya lewat media digital.
“Hari gini, mau jualan paket wisata tuh sebenernya mudah. Kalau kita udah punya media sosial, kita udah bisa jualan. Yang menantang adalah membuat konsep yang unik..”
Ngomongin soal promosi wisata, memang sayang banget kalau masyarakat (sebagai pelaku wisata) nggak ter-edukasi dengan materi-materi go digital. Apalagi di zaman ini, sedikit-sedikit orang nyarinya ke Google. Seringkali nggak lewat tour operator, orang bisa datang ke tempat wisata dengan mandiri. Nah, makanya temen-temen di desa ini harus siap. Kalau tiba-tiba ada wisatawan dateng, mereka bisa kasih pelayanan dengan baik. Harus siap melayani baik wisatawan group dengan operator khusus maupun wisatawan yang datang sendiri secara perorangan.
Satu hal menarik yang Fitri ceritakan, yakni soal latahnya desa-desa wisata bikin spot selfie. Yang dia temukan di lapangan, masyarakat dan komunitas di desa memang kadang nggak ngerti harus gimana dengan potensi wisata yang ada. Makanya mereka latah bikin spot selfie yang kadang konsep dan tujuannya nggak jelas.
Fitri Ningrum (Dok. Istimewa)
“Dulu, sebagai tour operator tuh suka kesel kalau lihat desa-desa wisata hanya bikin spot selfie. Dulu berpikir, alangkah alaynya spot I love you, ngecat warna-warni, dan yang lainnya. Tapi lama-lama, aku bisa memaklumi itu. Ketika sudah mendalami, aku jadi paham kenapa mereka bikin ini dan itu. Ya karena mereka taunya hanya itu. Ibaratkan anak usia dini, mereka bisanya gambar cuman pemandangan. Tapi apa iya apa kita harus omelin? Nggak kan? Makanya kita musti dampingi, biar jadi lebih baik. Kita memang harus memahami tahap perkembangan pariwisata bagi masing-masing komunitas, aku sebutnya: psikologi pariwisata; layaknya psikologi perkembangan manusia.”
“Selain identifikasi potensi, tahap awal ketika kami mendampingi masyarakat desa, kami akan ajak mereka untuk berwisata ke tempat lain. Kita lakukan ini supaya mereka bisa merasakan bagaimana jika jadi tamu/wisatawan. Ketika mereka sudah pernah merasakan nyaman dilayani dengan bagus, pastinya mereka akan menerapkan hal itu ke wisatawan yang datang ke desanya kelak.”
Fitri juga mengajak masyarakat desa untuk melek teknologi. Masing-masing dari mereka “dipaksa” untuk mempunyai akun di sosial media. Tujuannya bukan untuk selalu memberikan update setiap hari tentang kegiatan mereka, tapi justru supaya masyarakat ini bisa melihat keluar lebih luas, membuka wawasan lewat jendela sosial media. Media sosial bagi masyarakat desa bisa punya dampak positif negative. Tapi Fitri menekankan, bagaimana media sosial bisa menjadi media pembelajaran yang positif.
Terakhir, Fitri berharap pariwisata Indonesia jadi lebih baik. Tentunya hal ini akan dilihat dari beberapa indikator seperti meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan lokal dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat desa wisata. Akan lebih baik lagi, dengan jumlah kunjungan yang tepat, kualitas pengalaman orang-orang berwisata di Indonesia meningkat, dan dampak positifnya bukan hanya ekonomi, tapi lingkungan dan budaya yang terjaga.
“Kalau makin banyak orang Indonesia yang lebih memilih untuk wisata ke dalam negeri ketimbang ke luar negeri, tandanya mereka sudah mulai menghargai kekayaan alam dan budaya kita”, pungkasnya.
(Mauren Fitri)
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id | 9 November 2020