Pendahuluan
International Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) atau CEDAW adalah Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. CEDAW ditetapkan dalam siding umum PBB tanggal tahun 1979 dan berlaku pada tahun 1981. Hingga sekarang, terdapat 189 negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi CEDAW. Konvensi ini memperkenalkan konsep kesetaraan bagi perempuan dan merangkul semua aspek kehidupan perempuan. Baik dari segi politik, publik, diplomatic, ekonomi, pendidikan, kesehatan, pernikahan, keluarga, hingga perlindungan terhadap kekerasan. CEDAW berkomitmen untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Konvensi CEDAW bersifat mengikat bagi negara-negara anggotanya. Aturan yang terdapat dalam konvensi menjadi kewajiban negara-negara pihak untuk memastikan terjadinya kesetaraan substantif bagi perempuan. Maksudnya, diperlukan langkah-langkah oleh negara untuk menganalisis hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, kesenjangan, atau keadaan yang merugikan perempuan. Selain itu, dalam menghadapi hal tersebut, tindakan nyata juga harus dilakukan sehingga perempuan mempunyai kesetaraan dengan laki-laki dalam kesempatan dan akses serta menikmati manfaat yang sama.
Sumber foto: soroptimistinternational.org
Namun demikian, CEDAW kerap kali mendapatkan beberapa kritik. Khususnya dari kelompok feminis. Salah satunya karena memperlakukan perempuan sebagai kelompok homogen. Padahal, perempuan terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan identitas lainnya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa CEDAW belum akurat dan efektif, ia belum mencapai kesetaraan transformatif yang luas.
Pada intinya, maksud dan tujuan dari keseluruhan konvensi ini adalah untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan tujuan untuk mencapai kesetaraan de jure dan de facto perempuan dengan laki-laki. Yaitu secara aturan hukumnya dan juga prakteknya. Kesetaraan substantif akan terwujud berkaitan dengan efek kebijakan kesetaraan dan mempertimbangkan kebutuhan untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang ada. Hal ini akan tercapai dengan strategi yang efektif sehingga juga dapat mengatasi kurang terwakilinya perempuan dan redistribusi sumber daya dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam Jurnal ini, Frances Raday mengklarifikasi bahwa keutamaan hak perempuan atas kesetaraan di bawah CEDAW bukanlah turunan dari hak atas kewarganegaraan yang demokratis. Hak perempuan atas kesetaraan adalah kondisi preseden untuk demokrasi dan bukan hanya hasil dari pengakuan demokrasi. Hak perempuan atas kesetaraan memberikan perlindungan bagi individu bahkan dari kehendak mayoritas yang memiliki pengaruh besar. Dengan demikian, perempuan sebagai indivdu berhak atas kesetaraan, apapun keinginan mayoritas yang menyatakan sebaliknya.
Semenjak diadopsinya CEDAW, semakin jelas bahwa terdapat tantangan dalam implementasi tujuan kesetaraan bagi perempuan. Ini disebabkan filosofi sosial masyarakat yang tidak mendukung konsep kesetaraan bagi perempuan sebagaimana disebut dalam CEDAW. Saat ini terdapat beberapa disonansi antara agama atau praktik budaya tradisional dan juga etika neoliberal yang menantang CEDAW.
Sumber foto: ohchr.org
Mengadapi hal ini, CEDAW tidak mengambil kompromi atas keutamaan hak perempuan atas kesetaraan. Hal ini harus menang dalam menghadapi tantangan agama atau neoliberalisme. CEDAW juga membahas interseksionalitas, seperti terhadap perempuan dalam kemiskinan, perempuan yang termasuk dalam kelompok minoritas, pengungsi, migran, perempuan tanpa kewarganegaraan, lesbian, anak permpuan, dan wanita usia lanjut.
Secara de jure dan de facto masih terdapat permasalahan. Konsep CEDAW tidak sepenuhnya diimplementasikan oleh para anggota. Dalam negara-negara masih ada undag-undang diskriminatif yang belum dicabut. Terutama di bidang hukum keluarga yang didasarkan pada norma agama atau budaya. Secara faktanya, kesetaraan perempuan masih belum terjamin. Seperti peran perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan.
Pengaruh hak perempuan atas kesetaraan ekonomi dalam gelombang neoliberalisme sangat kompleks dan kontradiktif. Dapat dilihat terjadi peningkatan pendidikan dan partisipasi tenaga kerja pada perempuan. Tetapi juga masih tingginya proporsi perempuan dalam kemiskinan, kesenjangan upah dan promosi dalam pekerjaan. Bahkan masih marak terjadi eksploitasi dan perdagangan serta prostitusi perempuan dan anak perempuan. Pada kenyataannya, kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut di semua bidang.
Tantangan Budaya dan Agama
Dalam Pasal 16 CEDAW, dinyatakan bahwa negara peserta wajib membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, masih terdapat negara yang mereservasi pasal ini.
Reservasi menurut Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 adalah pernyataan sepihak dari suatu negara untuk tidak menerima berlakuknya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Ini menjadi salah satu bukti bahwa masih terdapat perlawanan terhadap kesetaraan perempuan. Reservasi terhadap pasal tersebut secara eksklusif ditujukan sebagai penghormatan tegas kepada agama. Pasal 16 adalah ketentuan kesetaraan dalam keluarga.
Disamping itu, masih juga banyak praktik yang dipertahankan atas nama budaya. Padahal, menimpa hak-hak asasi manusia dan melanggar hak perempuan dan anak perempuan. Seperti pembunuhan bayi perempuan, pemotongan kelamin perempuan, pernikahan paksa dan pengantin anak, pernikahan patriarki yang menolah hak perempuan atas tanah, properti, atau kebebasan bergerak, pemerkosaan dalam pernikahan, hingga pemberian makan yang diskriminatif yang menyebabkan kekurangan gizi pada perempuan. Praktik-praktik ini masih terjadi, dan menjadi kritik dalam the Concluding Comments on Country Reports by the Committee for Elimination of Discrimination Against Women.
CEDAW memberikan dasar normatif yang kuat untuk mengatasi hal ini. Seperti dalam pasal 5(a) yang menyatakan bahwa:
“Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat; untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan."
Disamping itu, dalam pasal 2(f) membebankan kewajiban, tanpa penundaan untuk mengubah atau menghapuskan kebiasaan dan praktik yang mendiskriminasi perempuan. Salah satunya adalah adat dan norma budaya tradisional yang dipertahankan yang mendiskriminasi perempuan. Kombinasi kedua pasal ini memberikan kekuatan yang lebih besar pada ha katas kesetaraan dalam hal terjadi bentrok dengan praktik budaya atau adat istiadat, termasuk norma agama, sehingga menciptakan hierarki nilai yang jelas.
Sayangnya, pasal 5(a) ini juga direservasi oleh empat negara pihak. Secara total, setidaknya terdapat dua puluh reservasi terhadap pasal 16 dan 5(a) yang dengan jelas menunjukkan bahwa negara pihak ingin melestarikan prinsip-prinsip hukum agama, baik untuk seluruh penduduknya atau komunitas.
Menanggapi ini, Komite CEDAW dalam komentar umumnya, telah menyatakan kebijakannya tentang hubungan antara budaya, agama, dan gender dalam hal kesetaraan hak antara pria dan wanita. Bahwa Komite setuju bahwa ketimpangan dalam penikmatan hak oleh perempuan di seluruh dunia sangat tertanam dalam tradisi, sejarah dan budaya, termasuk sikap kenegaraan. Maka dari itu negara pihak harus memastikan bahwa sikap tradisional, sejarah, agama, atau budaya tidak digunakan untuk membenarkan pelanggaran terhadap hak perempuan atas kesetaraan di depan hukum dan untuk menikmati semua hak dalam CEDAW secara setara.
Tinjauan ini dengan jelas menunjukkan bahwa praktik-praktik yang merugikan perempuan dilarang di bawah sistem hak asasi manusia PBB, terlepas dari apakah mereka diklaim atau tidak dibenarkan oleh pertimbangan budaya atau agama. Bahkan di tingkat pengadilan internasional, hak asasi manusia dan kesetaraan gender lebih dijunjung daripada mempertahankan agama dan budaya.
Berdasarkan CEDAW dan instrumen hukum internasional lainnya, dimana terjadi bentrokan antara praktik budaya atau norma agama dan hak atas kesetaraan gender, hak inilah yang kemudian harus memiliki hegemoni normatif. Pada tingkat internasional, hierarki nilai ini telah diadopsi dalam perjanjian internasional dan pengadilan. Permasalahannya adalah sistem hukum pribadi yang masih mengakar kuat, dibuktikan melalui reservasi. Maka dari itu dibutuhkan kerjasama dan dukungan yang kuat dari pemerintah untuk memperjuangkan persamaan gender.
Neoliberalisme
Tantangan ideologis neoliberalisme yang bangkit kembali pada akhir abad ke-20 sangat relevan terutama dalam konteks hak sosial dan ekonomi. Neoliberalisme, seperti halnya liberalisme, mempromosikan hak politik dan sipil untuk kebebasan. Namun demikian, perspektif gender tidak dipertimbangkan dalam era neoliberal. Pertumbuhan ekonomi adalah diatas segala-galanya. Kebijakan neoliberal memperburuk ketidaksetaraan secara global antar negara. Perempuan masih mendapatkan tindakan diskriminatif dalam pekerjaan, seperti pada jabatan dan upah. Komite CEDAW telah memepertimbangkan hubungan antara gender dan pembangunan ekonomi. Komite mengamati bahwa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan tidak menguntungkan perempuan sebanyak laki-laki.
CEDAW dalam hal ini memberlakukan kewajiban negara untuk memastikan hak perempuan atas kesetaraan dalam politik, sosial dan ekonomi. Ini membebankan kewajiban kepada negara-negara pihak untuk memastikan pembangunan dan pemajuan penuh perempuan di segala bidang. Perempuan sebagai pemegang hak, bukan sebagai objek atau calon penerima manfaat dari kebijakan.
CEDAW juga spesifik mengharuskan pengambilan semua tindakan yang tepat untuk memastikan perempuan memiliki hak yang setara dengan laki laki dalam publik (pasal 7), perolehan kewarganegaraan (pasal 9), pendidikan (pasal 10), pekerjaan (pasal 11), perawatan kesehatan (pasal 12), kredit (pasal 13), dan di sektor pedesaan (pasal 14). Negara harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan oleh setiap orang, organisasi atau perusahaan.
Penutup
Ketentuan CEDAW dan interpretasinya oleh komite CEDAW dengan jelas menyangkal klaim bahwa CEDAW adalah bentuk asimilasi, homogen, atau esensialis. CEDAW memberikan dasar bagi kesetaraan transformatif dan memang mengamanatkannya[SN1] . Ketentuan kesetaraan substantif CEDAW memberikan teori dan norma untuk bersaing dengan tantangan yang berkembang dari budaya dan agama tradisionalis, patriarki dan eksploitasi neoliberal terhadap perempuan.
Permasalahan terbesar adalah kesenjangan antara kebijakan normative dan praktik sosialnya. Janji de jure dan kesetaraan de facto perempuan tidak hanya dapat dipenuhi dalam bentuk aturan saja. Hal ini harus menjadi komitmen untuk dituangkan dalam aksi politik, ekonomi, dan sosial yang mengamankan perempuan dan memberi kapasitas untuk perempuan berperan sebagai aktor yang setara di ruang publik. Setara dengan laki-laki baik dalam hal ekonomi maupun keluarga. Inilah makna kewarganegaraan demokratis bagi perempuan[SN2] .
Sumber:
Frances Raday, Gender and Democratic Citizenship: The Impact of CEDAW. 2012. International Journal of Constitutional Law, Volume 10, Issue 2.
https://doi.org/10.1093/icon/mor068
ditulis oleh Jessica Ester
Artikel ini dipublikasikan pada laman womentourism.id | 2 September 2021