Butet Manurung, Membawa Pendidikan ke pelosok Negeri

Pernahkah kamu membayangkan dirimu berada di dalam hutan selama berminggu-minggu untuk tinggal dan mengajar masyarakat adat di dalam sana?

Fellow, mari kita berkenalan dengan Saur Marlina Manurung atau yang lebih akrab disapa Butet Manurung!

Mungkin beberapa diantara kalian sudah tak asing lagi dengan perempuan tangguh yang satu ini. Beliau adalah sosok penting dibalik berdirinya sekolah untuk masyarakat adat atau dikenal dengan nama Sokola Rimba. Lulusan Antropologi dan Sastra Indonesia Universitas Padjajaran ini, memiliki hobi dan ketertarikan terhadap alam bebas beserta kehidupan masyarakat adat yang ada di dalamnya. Hal tersebut yang membawa Butet untuk mengambil kesempatan bekerja sebagai fasilitator pendidikan pada sebuah lembaga konservasi yang ada di Jambi selama empat tahun. Namun, karena ketidak cocokan visi dan misi, Butet memutuskan untuk mengundurkan diri, lalu memulai program Sokola Rimba yang menjadi cikal-bakal Sokola Institute dan menjadikannya sebagai pionir pendidikan alternatif bagi masyarakat adat di Indonesia.

 

 

Sumber: Dokumen Istimewa Dodi Rokhdian

 

Keberhasilan Butet mendirikan Sokola Institute, tentu tak lepas dari berbagai macam tantangan dan hambatan dari berbagai macam pihak. Butet menceritakan bagaimana awal perjuangannya saat berhadapan dengan masyarakat adat yang ada di Jambi. Selama di sana, beliau mengalami penolakan serta berbagai macam penyesuaian untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat adat itu sendiri. “Saya harus berjalan jauh sekali, mengikuti rutinitas mereka, berhadapan dengan malaria, bahkan hewan buas juga! Namun itu semua malah menjadi daya tarik tersendiri bagi saya” cerita Butet dengan penuh semangat. Membayangkan ketangguhan Butet Manurung menerjang rintangan demi mewujudkan impiannya adalah hal yang luar biasa. Tapi tantangan untuk mewujudkan impian tersebut tak hanya datang dari masyarakat adat saja. Lingkungan kerja serta keluarga pun memberikan tantangan tersendiri tentang stigma pekerjaan ideal menurut mereka. Belum lagi pandangan masyarakat modern yang menganggap cara hidup masyarakat adat harus diubah. Namun Butet sendiri memiliki keyakinan yang berseberangan dengan stigma tersebut.

 

 

Pendiri Sokola Rimba, Sumber: Dokumen Istimewa Fadilla Mutiarawati

 

Selama perjalanannya mengajar masyarakat adat, Butet juga menemukan permasalahan lain yakni perihal hak mengenyam pendidikan yang disebabkan oleh peran gender di dalam masyarakat adat. Beliau bercerita saat berada di Rimba, pada awalnya perempuan tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar. 

“Saya sedih melihat anak perempuan datang dan mengambil pulpen untuk ikut menulis terus diseret oleh ibunya disuruh kembali dan pulpennya dibakar” kata Butet. Meskipun menurutnya kejadian itu adalah sebuah ketidakadilan, kebanyakan perempuan tidak memandang hal tersebut sebagai bentuk penindasan. Mereka justru menganggapnya sebagai sebuah keistimewaan karena tidak perlu ikut belajar. Sehingga Butet memutuskan untuk tidak memaksakan pandangannya. Bagi Orang Rimba, perempuan memiliki hak dan martabat yang lebih tinggi ketimbang laki-laki. Selain itu, bagi mereka kegiatan belajar membaca dan menulis adalah persiapan untuk ‘berperang’ dengan masyarakat luar yang dimana hal tersebut adalah tugas bagi kaum laki-laki untuk terus melindungi keluarganya. Butet justru beranggapan bahwa ketidaksetaraan gender di tengah masyarakat adat lebih mempengaruhi laki-laki. Contohnya, laki-laki di Rimba tidak memiliki kuasa atas harta keluarganya serta terdapat banyak larangan seperti tidak boleh makan yang banyak, bahkan tidak boleh pulang tanpa hasil buruan. Bagi kebanyakan Orang Rimba, lebih baik memiliki anak perempuan dibandingkan anak laki-laki karena nantinya anak laki-laki akan  terus bekerja keras seumur hidupnya. Tuntutan untuk menafkahi keluarga yang dibebankan pada laki-laki juga mempengaruhi bagaimana anak laki-laki di daerah pedalaman dapat mengikuti kegiatan pembelajaran. Butet menyayangkan banyaknya jumlah anak-anak di daerah pedalaman yang harus putus sekolah karena orang tua mereka merasa pendidikan formal tidak akan memberikan keuntungan apa-apa untuk masa depan anak mereka. Seringkali anak-anak ini tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi agar dapat dipersiapkan untuk melanjutkan mata pencaharian orang tuanya seperti belajar cara bertani dan beternak. Menurut Butet, kesetaraan gender masyarakat adat harus harus dilihat dari konteks lokal, sebab jika tidak ada yang merasa didiskriminasi maupun dirugikan, berarti tidak bisa dikatakan sebagai ketidaksetaraan.

 

Sumber: Dokumen Istimewa Aulia Erlangga

 

Pandangan bahwa masyarakat adat juga berhak mendapatkan pendidikan agar mampu bertahan menghadapi arus global menjadi bahan bakar bagi Butet demi mewujudkan impiannya. Sempat muncul kekhawatiran dalam benak Butet atas apa yang beliau yakini malah akan memberikan dampak buruk seperti menumbuhkan sifat materialistis yang berujung pada hilangnya nilai kebudayaan lokal masyarakat adat. Tetapi ketika Butet melihat langsung bahwa dunia luar sudah mulai mendatangi daerah pedalaman, beliau semakin yakin bahwa masyarakat adat memerlukan pendidikan dalam upaya melindungi diri serta lingkungan tempat mereka tinggal. Hanya saja, pendidikan yang dimaksud bukanlah pendidikan formal pada umumnya, melainkan sistem pendidikan yang mengangadopsi aspek serta nilai kebudayaan lokal masyarakat adat itu sendiri. Butet beranggapan bahwa sistem sekolah formal tidak seluruhnya cocok bagi masyarakat adat. Maka dari itu, beliau merancang metode kurikulum literasi dasar seperti calistung (baca, tulis hitung) yang disesuaikan dengan bahasa lokal setempat, dan metode literasi terapan yang diangkat dari permasalahan serta aspek budaya setempat. Besar harapan Butet agar pendidikan formal dan nilai-nilai lokal bisa saling melengkapi satu sama lain. Menurutnya, kondisi tersebut dapat dilakukan apabila pendidikan bersifat kontekstual dan muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dapat diperbesar agar dapat mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakatnya. “Misalnya bagi masyarakat yang tinggal di pinggir laut, lima puluh persen harusnya tentang laut, hewan-hewan di laut, cara membetulkan jala, bahasa daerah disitu, cara mengetahui tsunami dan segala macam lainnya.” jelas Butet.

 

Sumber: Dokumen Istimewa Aulia Erlangga

 

Bicara tentang pendidikan dan industri pariwisata, Butet menyatakan apabila pengembangan keduanya di daerah terpencil memiliki banyak kesamaan. Ini karena  keduanya, mendatangkan pihak luar suatu daerah dan memaksakan standar serta kehendak mereka meskipun tidak sesuai dengan keinginan masyarakat disana. Padahal menurut Butet, baik pengembangan pendidikan maupun pembangunan pariwisata seharusnya justru menonjolkan unsur-unsur kebudayaan yang ada di daerah tersebut dan dapat membuat masyarakat sekitar semakin bangga dengan keunikan budaya yang mereka miliki.

 

Sumber: Dokumen Istimewa Dodi Rokhdian

 

Fellow companions mungkin sudah familiar dengan istilah rural tourism atau kegiatan wisata yang mengajak wisatawan untuk bergabung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Rupanya menurut Butet kegiatan wisata ini bisa saja diterapkan di daerah-daerah pedalaman, akan tetapi hal tersebut harus dibarengi dengan edukasi pelaku wisata dan wisatawan tentang nilai-nilai dianut oleh masyarakat sekitar. “Harus ada orang yang sudah lebih dahulu mengenal mereka dengan baik. Cara pandang mereka, nilai-nilai mereka, prinsip mereka tentang kesejahteraan sehingga kita bisa ikut mendukung mereka.” Ujar Butet. Sama seperti ketika berkunjung ke negara lain, berkunjung ke daerah pedalaman pun harus dilakukan dengan mengingat bahwa masyarakat yang tinggal di sana memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita dalam apa yang dianggap sopan maupun tidak. Butet bercerita bahwa di Rimba, laki-laki tidak boleh sembarangan memberi pujian kepada perempuan. Bahkan pujian yang bagi kita mungkin terdengar biasa saja dapat dilihat sebagai bentuk pelecehan apabila diucapkan oleh laki-laki yang bukan keluarga. Maka dari itu, apabila kegiatan wisata sejenis ini akan diterapkan di daerah pedalaman, wisatawan yang datang sudah harus memiliki pengetahuan dasar tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di tempat tersebut. Butet juga menambahkan kalau pihak luar yang akan berkunjung ke daerah pedalaman ini harus datang dengan pikiran terbuka. Artinya, mereka tidak datang dengan pikiran bahwa budaya masyarakat adat ini lebih rendah dibandingkan dengan kebudayaan mereka. Malahan  mereka seharusnya dapat membuat masyarakat lokal semakin bangga dengan kebudayaan yang dimiliki. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memandang perbedaan yang dimiliki secara positif, misalnya bukannya bertanya mengapa masyarakat pedalaman tidak menggunakan sepatu tetapi justru memberikan pujian karena masyarakat daerah tersebut dapat beraktivitas dengan mudah meskipun tidak menggunakan alas kaki.

 

Sumber: Dokumen Istimewa Aulia Erlangga

 

Hubungan antara pendidikan dan industri pariwisata kembali Butet angkat ketika berbicara tentang pembangunan pariwisata yang biasanya berujung pada penggusuran masyarakat asli daerah tempat dikembangkannya kegiatan wisata tersebut. Tanpa menggusur teritori pun, kurikulum pendidikan yang diseragamkan telah menggusur mindset masyarakat lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari hilangnya kemampuan berbahasa daerah hingga perubahan pola pikir yang mengikuti cara pikir masyarakat umum yang mengedepankan harta benda.

“Keseragaman akan membunuh keberagaman” itulah yang diyakini Butet. Baginya kurikulum yang diseragamkan hanya akan mencetak orang-orang yang seragam, oleh karena itu Butet percaya kurikulum pendidikan yang sarat dengan konteks nilai lokal akan menjadi kunci dalam mencapai kesetaraan gender di dalam dunia pendidikan. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa ada banyak anak laki-laki yang harus berhenti sekolah untuk mulai bekerja. Beliau sangat optimis apabila pendidikan di Indonesia menjadikan kebudayaan masyarakat lokal sebagai bagian dari kurikulumnya, maka akan semakin banyak anak laki-laki dan perempuan yang bisa meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

 

Ditulis oleh: Natasya Indah, Karenina Aulia Saraswati

Artikel ini diterbitkan di lamanwomentourism.id | 22 September 2021