Kesetaraan Gender Dalam Lini Masyarakat Suku Baduy

Manusia dilahirkan sama, baik perempuan dan laki-laki memiliki hak yang setara tidak terkecuali. Sebuah kesetaraan akan membuat suatu negara menjadi lebih kuat. Dengan kesetaraan gender juga taraf hidup akan meningkat bahkan pembangunan ekonomi akan menjadi lebih baik. Terdapat empat aspek untuk mengkaji hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dikemukakan oleh para ahli studi gender, pertama adalah kesetaraan perempuan memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam segala hal, perempuan mendapatkan manfaat yang sama dengan laki-laki, perempuan dapat berpartisipasi dalam semua kegiatan seperti halnya laki-laki, dan perempuan memiliki kontrol atas sumber daya seperti laki-laki (March, Candida et al., 1999). Empat aspek tersebut mencerminkan masyarakat Baduy yang tidak memiliki banyak ketimpangan diantara perempuan dan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh kegiatan ekonomi mereka yang masih dilakukan di rumah tangga sehingga hasil produksi yang berlebih ditukarkan dengan berbagai barang yang tidak diproduksi di dalam rumah tangga. Masyarakat Baduy hidup bersahaja dengan bergantung pada kegiatan bertani & berladang (sering disebut “berhuma”).

 

Foto: Getty Images/Alexander Newman

 

Bentuk Kesetaraan Pada Aktivitas Sehari-hari

Suku Baduy atau mereka menyebut diri sebagai urang kanekes adalah masyarakat adat atau sub-etnis dari suku Sunda di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten. Mereka merupakan masyarakat yang memegang teguh kearifan lokal sehingga menolak budaya modern. Adat dan kebiasaan mereka begitu kuat sehingga sulit diubah. Baik laki-laki dan perempuan memegang peranan penting di bidang sosial maupun religi. Laki-laki dalam suku Baduy posisinya tidak mendominasi, sehingga perempuan Baduy pun tidak berada pada posisi subordinasi karena mereka memiliki peran masing-masing yang  khas. Dalam aktivitas sehari-hari seperti berladang/berhuma, ada tujuh tahapan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy, di antaranya adalah nyacar (menebang pepohonan besar atau semak belukar), nukuh (menumpuk ranting dan dedaunan), ganggang (mengeringkan ranting dan dedaunan dengan matahari), ngaduruk (membakar ranting dan dedaunan), ngahuru (membakar sisa-sisa dari ngaduruk), muuhan (membuat lubang), dan ngaseuk (menanam butiran padi). Pada prosesnya, kerjasama antara perempuan dan laki-laki terjalin dengan erat. Sebagai contoh, perempuan akan membuat lubang untuk menanam padi (muuhan) kemudian laki-laki akan melakukan ritual menanam padinya (ngaseuk). Pada proses panen pun perempuan akan menjadi pemimpin upacara. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pembagian tanggung jawabnya masyarakat Baduy peduli pada kesetaraan. 

 

Foto: Getty Images/Josua Alessandro

 

Konsep Kesetaraan Suku Baduy

Terdapat tiga konsep yang menjadi dasar kesetaraan dalam masyarakat Baduy diantaranya adalah Konsep Ambu, Konsep Nyi Pohaci, dan Konsep Keseimbangan.Konsep Ambu digunakan dalam tataran mikrokosmos (rumah tangga) sebagai sebutan orang tua wanita (ibu) dan tataran makrokosmos (alam semesta). Ambu pada kedua tataran tersebut memiliki fungsi dan peran yang sama yaitu untuk memelihara, mengayomi, dan melindungi sehingga sosok ambu dalam masyarakat Baduy sangat penting dan dihormati. Pada tataran mikrokosmos, Ambu sebagai sosok wanita yang menjadi ibu atau istri akan memiliki peran di rumah tangga untuk mengabdikan dirinya untuk keluarga serta menjadi sosok penting di ladang yakni memegang peran dalam menjaga dan memelihara padi. Sedangkan pada tataran makrokosmos (alam semesta), Ambu merupakan konsep dari penguasa dan pengayom dunia. Alam semesta dalam masyarakat Baduy terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas berarti lapisan dunia yang suci tak ternoda yang terang benderang bermandikan cahaya, dunia tengah merupakan bumi tempat manusia berpijak, lalu dunia bawah diartikan sebagai neraka karena berada di dalam tanah.

Konsep Nyi Pohaci atau Nyi Pohaci Sang Hyang Asri berkaitan erat dengan kegiatan pertanian sehingga dianggap sebagai sumber atau pembawa kehidupan. Terdapat ungkapan masyarakat Baduy yakni “hirup turun tinu rahayu, hurip lalarn pohaci” yang artinya “hidup berasal dari Tuhan, kehidupan berasal dari Pohaci”. Dengan demikian, konsep Nyi Pohaci menjadi pusat dari pemujaan dalam kehidupan sehari-hari. Menanam padi di ladang menjadi aktivitas beribadah bagi masyarakat Baduy karena pada hakikatnya ngareremokeun (menjodohkan) antara Nyi Pohaci dengan bumi sebagai pasangannya. Dalam ritual menanam padi harus memberikan penghormatan pada Nyi Pohaci karena masyarakat Baduy percaya bahwa Nyi Pohaci berada di dunia atas. Perempuan sebagai sosok yang terhormat dan harus diperlakukan dengan baik diibaratkan dengan padi yang melambangkan sosok Nyi Pohaci karena perempuan adalah sumber kehidupan. Konsep Keseimbangan bersifat penyetaraan laki-laki dan perempuan. Keseimbangan menjadi hal yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Baduy karena terdapat pada segala aspek kehidupan. Dalam hubungan sesama manusia, harkat martabat manusia sangat dijunjung tinggi. Maka, kesetaraan menjadi salah satu aspek penting dalam adat masyarakat Baduy. Perselisihan sangat dihindari oleh masyarakat Baduy karena mereka ingin menjaga aturan adat untuk menjaga perilaku antar manusia. Dalam keluarga baik perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab masing-masing dan saling menolong.

Dalam masyarakat Baduy, kesetaraan gender akan terus dipertahankan demi terjaganya nilai adat dan tradisi. Sistem sosial budaya dan konsep-konsep yang telah ada di lini masyarakat Suku Baduy dapat mengajarkan  kesetaraan gender sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya kesetaraan gender, kehidupan dalam masyarakat akan lebih harmonis karena tidak akan terjadi ketidakadilan gender seperti marginalisasi, subordinasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan.

 

Sumber:

Hakiki, K. M. (2011). Identitas Agama Orang Baduy. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 6(1), 61-84.

Setiani, B. (2006). Fungsi dan Peran Wanita dalam Masyarakat Baduy. Lex Jurnalica, 3(3), 17963.

Yuliana, N. (2019, November). The Role of Women In Baduy: Food Security In The Era of Globalization and Media Convergence. In International Conference on Democratisation in Southeast Asia (ICDeSA 2019) (pp. 355-360). Atlantis Press.

https://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-5/ 

https://rifka-annisa.org/id/penelitian-publikasi/buku/item/424-stereotipe-perempuan-dalam-konsep-budaya-suku-baduy-wujud-kesetaraan-gender 

https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/suku-baduy-bersinergi-dengan-alam-menjaga-aturan-adat/?gclid=CjwKCAjwvNaYBhA3EiwACgndgpN6DMGunXkdoD9MUX1Ildh3Rngi1yHjwt9b18d-UA8gTcpAhpsoBxoCzUYQAvD_BwE 

 

Ditulis oleh: Alfitazki Aulia Billah

Editor: Kharisma Erlambang

 

Artikel ini dipublikasikan pada laman womentourism.id | 15 September 2022