31 Agustus 2025

Novel dan serial film Gadis Kretek karya Ratih Kumala bukan sekedar potret estetis tentang sejarah industri kretek dan budaya Jawa, tetapi keindahan narasinya justru menjadi latar bagi hadirnya kritik tajam terhadap budaya patriarki normatif yang membatasi agensi perempuan dalam ruang budaya dan produksi. Larangan simbolik bagi perempuan untuk ikut meramu saus kretek dengan alasan dapat “mengurangi rasa” atau mengganggu sakralitas produk, menjadi bukti bahwa mitos budaya seringkali dijadikan sebagai instrumen legitimasi untuk mempertahankan dominasi laki-laki, sekaligus meneguhkan stereotip perempuan sebagai kanca wingking atau “teman belakang” yang perannya terbatas pada dapur, anak, dan suami atau dalam kata lain wanita hanya pantas di dapur, mengurus anak, dan melayani suami” (Widarwati & Purnomo, 2025).
Dalam penelitian Khasanah dan Khusyairi (2023) menemukan bahwa representasi tokoh Dasiyah (Jeng Yah) dalam serial Gadis Kretek merefleksikan subordinasi yang dialami perempuan akibat stereotip budaya yang menganggap bahwa perempuan adalah sosok yang lemah, kurang cerdas, serta hanya pantas ditempatkan pada ranah domestik. Representasi tersebut konsisten dengan hasil penelitian Widarwati dan Purnomo (2025) yang mengidentifikasi bahwa konstruksi stereotip budaya Jawa menempatkan perempuan pada posisi subordinat, yang pada kenyataannya kapasitas kreatif dan aktualisasi potensi mereka tidak memperoleh ruang yang setara dalam ranah produksi maupun tatanan sosial.
Penolakan Dasiyah terhadap perjodohan dan keberaniannya untuk melanjutkan usaha kretek merupakan representasi dari resistensi perempuan yang berupaya mendefinisikan ulang apa yang disebut sebagai kodrat alami, sekaligus menolak reduksi identitas yang selama ini membatasi mereka hanya pada peran istri atau pelayan laki-laki (Anhar, Widharyanto, & Kastuhandani, 2025). Keberanian perempuan dalam menolak konstruksi sosial yang mengekang identitasnya merupakan bentuk resistensi terhadap hegemoni patriarki, tindakan ini menegaskan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk menegosiasikan perannya di luar batas konstruksi sosial patriarki tersebut serta merebut ruang otonomi dalam ranah sosial, ekonomi, maupun budaya.
Kerangka analisis wacana kritis feminis yang dikembangkan oleh Sara Mills, sebagaimana digunakan dalam penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa perempuan dalam Gadis Kretek seringkali ditempatkan sebagai objek cerita, tetapi Ratih Kumala juga menampilkan perjuangan perempuan dalam dua bentuk diantaranya perjuangan radikal yang konfrontatif dan perjuangan kompromis yang adaptif terhadap norma sosial (Anhar, Widharyanto, & Kastuhandani, 2025). Perjuangan radikal tercermin dari penolakan tokoh perempuan terhadap dominasi sistem patriarki secara frontal, sementara perjuangan kompromis diwujudkan melalui strategi negosiasi dalam ruang yang masih didominasi laki-laki, hal ini menunjukkan bahwa Gadis Kretek dapat dipahami bukan semata sebagai karya estetik yang mempertegas subordinasi, melainkan sebagai arena yang mengartikulasikan pertarungan antara subordinasi dan resistensi perempuan sebagai subjek aktif dalam sejarah industri kretek.
Keterhubungan antara subordinasi dan resistensi perempuan tersebut juga dibahas lebih lanjut oleh Widyastuti (2020) dalam penelitiannya yang menekankan kemandirian Dasiyah sebagai sosok independent woman yang mampu menghadirkan inovasi dalam industri kretek meskipun posisinya berada di ruang maskulin. Kedudukan Dasiyah sebagai pengusaha perempuan memperlihatkan bahwa independensi tidak hanya terkait dengan pembebasan perempuan dari institusi pernikahan ataupun dominasi laki-laki, tetapi juga mencakup kemampuan dalam mengartikulasikan kapasitas diri dalam memproduksi nilai ekonomi dan sosial yang didominasi patriarki, dan Gadis Kretek menjadi refleksi bagi perempuan dalam bertransformasi dari objek subordinasi menuju aktor independen yang menginisiasi perubahan.
Di samping itu, subordinasi perempuan yang direpresentasikan dalam industri kretek merefleksikan realitas yang hadir dalam sektor pariwisata kontemporer, di mana perempuan sering kali menjadi tulang punggung desa wisata, hospitality, dan UMKM, keterlibatan perempuan hanya sebatas frontliner tanpa akses kepemilikan atau otoritas dalam pengambilan keputusan strategis. Meskipun perempuan aktif dalam kegiatan pariwisata, hanya sedikit yang menduduki posisi kepemimpinan atau pengambil keputusan (Mulyasari & Maizida, 2024), sementara dalam konteks yang lebih komprehensif, pemberian ruang bagi perempuan untuk mengartikulasikan narasi dan mengelola warisan budaya secara penuh berpotensi menjadikan pariwisata sebagai sarana pemberdayaan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan, bukan sekedar pelestarian simbolis.
Konteks global turut menegaskan urgensi kesadaran terhadap ketimpangan tersebut, menurut laporan UN Women (2025) menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender dan praktik subordinasi perempuan merupakan persoalan universal yang secara signifikan menghambat kontribusi perempuan dalam agenda pembangunan. Dengan demikian, film atau serial Gadis Kretek tidak hanya merefleksikan budaya Jawa yang patriarkal, tetapi juga sebagai simbol universal yang mengartikulasikan perjuangan perempuan terhadap diskriminasi struktural, serta menjadi sebuah inspirasi untuk mendorong kebijakan afirmatif dalam menjamin inklusivitas peran di ruang publik, termasuk sektor pariwisata.
Secara keseluruhan, Gadis Kretek dapat ditafsirkan sebagai narasi kultural yang menggugat warisan patriarki sekaligus mengartikulasikan imajinasi mengenai independensi perempuan, dan narasi subordinasi dan resistensi yang ditampilkan melalui sosok Dasiyah menunjukkan bahwa agensi perempuan tidak pernah benar-benar hilang, melainkan berjuang menegosiasikan ruangnya dalam struktur sosial yang mengekang. Dengan demikian, Gadis Kretek tidak hanya menampilkan romantika industri kretek dan sejarah yang melatarbelakangi, melainkan sebagai konstruksi wacana kritis terkait bagaimana perempuan melawan subordinasi menuju kemandirian yang tentunya memiliki relevansi baik dalam konteks lokal maupun global.
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 31 Agustus 2025
Writer:
Hanum Zatza Istiqomah
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in social, cultural, and sustainability issues.
Referensi:
- Anhar, A., Widharyanto, B., & Kastuhandani, F. C. (2025). Perjuangan Perempuan terhadap Diskriminasi dalam Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala. Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa, Dan Sastra, 11(2), 1397–1413. https://doi.org/10.30605/onoma.v11i2.5473
- Khasanah, S. U., & Khusyairi, J. A. (2023). Dari Stereotype hingga Subordinasi Perempuan dalam Series Gadis Kretek 2023 Karya Ratih Kumala. J-SES : Journal of Science, Education and Studies, 2(3). https://doi.org/10.30651/jses.v2i3.20976
- Mulyasari, R., & Maizida, K. (2024). Keterlibatan Perempuan dalam Pengelolaan Aktivitas Wisata Studi Kasus Desa Ekowisata Pancoh, Yogyakarta. Journal of Indonesian Tourism Hospitality and Recreation, 7(2), 125–136. https://doi.org/10.17509/jithor.v7i2.71362
- UN Women. (2025). Independent corporate evaluation of UN Women’s approach to violence against women prevention and response: Navigating changes in global and regional contexts. UN Women – Headquarters. https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2025/05/evaluation-independent-corporate-evaluation-of-un-womens-approach-to-violence-against-women-prevention-and-response-navigating-changes-in-global-and-regional-contexts
- Widarwati, N. T., & Purnomo, B. (2025). Javanese patriarchal culture of gender stereotypes in the English translation of Gadis Kretek : a critical discourse analysis. Cogent Arts & Humanities, 12(1). https://doi.org/10.1080/23311983.2025.2526141
- Widyastuti, T. (2020). Independent Woman in Novel Gadis Kretek by Ratih Kumala. https://doi.org/10.4108/eai.8-9-2020.2301441
- Sumber foto: netflix.com