27 September 2025

Pariwisata merupakan salah satu sektor strategis nasional yang tidak hanya berkontribusi pada eskalasi pendapatan negara, namun juga berpeluang besar dalam menciptakan berbagai lapangan kerja bahkan jenis profesi dan pekerjaan baru bagi ribuan hingga jutaan sumber daya manusia di Indonesia. Hubungan hukum dalam sektor ini sangat erat dengan praktik kontrak bisnis, baik antar perusahaan maupun antara perusahaan dan pekerja. Dalam konteks ini, kontrak tidak hanya menjadi dasar kepastian hukum, tetapi juga menentukan kualitas perlindungan yang diterima pekerja, termasuk pekerja perempuan di sektor pariwisata (Putri, 2023; Perwira, Handayani, & Karjoko, 2023).
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1313, perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum ketika satu pihak atau lebih berjanji kepada pihak lain. Dalam pariwisata, kontrak mencakup kerjasama antar pelaku usaha (hotel, agen perjalanan, transportasi) hingga kontrak kerja tenaga kerja. Buku ajar Hukum Bisnis Pariwisata menekankan pentingnya asas kebebasan berkontrak, kepastian hukum, dan itikad baik sebagai prinsip dasar (Tangian & Bawole, 2021). Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa kontrak di sektor pariwisata kerap timpang, misalnya kontrak kerja jangka pendek (PKWT), outsourcing, atau perjanjian kemitraan yang lebih menguntungkan pemilik modal dibanding pekerja (Santoso, Triyunarti, Azizah, Farhani, & Juaeni, 2024). Kontrak bisnis pariwisata memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia memberi kepastian hak dan kewajiban, termasuk jaminan upah, jam kerja, dan fasilitas. Di sisi lain, kontrak juga dapat menjerumuskan pekerja pada kondisi rentan jika klausulnya tidak seimbang. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat kerja, hak, serta kewajiban para pihak (Pasal 14), dan hubungan kerja harus mencakup unsur pekerjaan, upah, serta perintah (Pasal 15). UU ini juga menjamin kesetaraan kesempatan kerja tanpa diskriminasi (Pasal 5 dan Pasal 6). Namun, dalam praktik, pekerja di sektor pariwisata kerap dihadapkan pada kontrak kerja yang tidak memenuhi standar perlindungan tersebut.
Situasi ini semakin kompleks dengan lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU ini memperkenalkan fleksibilitas kontrak dan perluasan mekanisme outsourcing. Pasal 3 huruf b menegaskan bahwa tujuan utama UU Cipta Kerja adalah menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Namun, penelitian menunjukkan bahwa fleksibilitas kontrak yang diperkenalkan justru meningkatkan potensi eksploitasi, khususnya di sektor padat karya seperti pariwisata (Santoso et al., 2024). Selain itu, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menekankan bahwa pariwisata harus diselenggarakan dengan asas keadilan, kesetaraan, partisipatif, dan berkelanjutan (Pasal 2) serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 5 huruf b). Dengan demikian, kontrak bisnis pariwisata seharusnya merefleksikan prinsip kesetaraan tersebut. Namun, studi empiris di Bali menunjukkan bahwa pekerja perempuan kerap menghadapi jam kerja panjang, risiko pelecehan, serta kesenjangan upah dibanding pekerja laki-laki (Putri, 2023). Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara norma hukum dan implementasi di lapangan.
Jika ditarik ke standar internasional, kondisi tersebut jelas bertentangan dengan ILO Convention No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (1958), yang mendefinisikan diskriminasi sebagai segala bentuk pembedaan berbasis ras, jenis kelamin, agama, pandangan politik, atau asal-usul sosial yang menghambat kesetaraan kesempatan kerja (Pasal 1). Dengan demikian, kontrak yang tidak responsif gender di sektor pariwisata merupakan bentuk diskriminasi yang dilarang secara internasional. Selain itu, United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) menekankan tiga pilar utama: negara wajib melindungi hak asasi manusia melalui kebijakan, regulasi, dan penegakan hukum (Prinsip 1); perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menghormati HAM di seluruh rantai usahanya (Prinsip 11–13); dan korban pelanggaran berhak atas akses pemulihan (Prinsip 25). Prinsip-prinsip ini harus menjadi rujukan dalam merancang kontrak bisnis pariwisata agar tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga menjamin keadilan dan kesetaraan gender.
Studi ELSAM (2020) juga menunjukkan bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok paling rentan dalam praktik bisnis korporasi. Oleh karena itu, klausul kontrak di sektor pariwisata perlu memasukkan ketentuan yang responsif gender, seperti larangan diskriminasi upah, mekanisme pengaduan pelecehan seksual, dan perlindungan hak maternitas. Implementasi kebijakan berbasis gender di destinasi seperti Banyuwana Waterfall membuktikan bahwa keterlibatan perempuan dalam pengelolaan pariwisata justru meningkatkan keberlanjutan dan keadilan sosial (Dewi, Liana, Adnyani, Permana Putra, & Permana Putra, 2024). Dengan demikian, kontrak bisnis pariwisata tidak dapat dipandang sekadar instrumen formal kepastian hukum. Kontrak adalah instrumen fundamental yang menentukan arah perlindungan pekerja dan keberlanjutan sektor. Reformasi kebijakan kontrak kerja di sektor pariwisata mendesak dilakukan melalui integrasi perlindungan normatif dari UU Ketenagakerjaan, pengawasan atas fleksibilitas dalam UU Cipta Kerja, penerapan asas kesetaraan dalam UU Kepariwisataan, serta penguatan standar internasional seperti ILO Convention No. 111 dan UNGPs. Dengan langkah tersebut, sektor pariwisata dapat berkembang secara inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 27 September 2025
Writer:
Sylviatul Muthqia
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in women's empowerment issues.
Referensi
Dewi, N. M. R., Liana, K., Adnyani, N. P. W. L., Permana Putra, I. G. N. D., & Permana Putra, I. P. A. (2024). Implementasi pengarusutamaan gender pada objek wisata Banyuwana Waterfall. Aplikasi Administrasi: Media Analisa Masalah Administrasi, 27(2), 156–169. https://doi.org/10.30649/aamama.v27i2.252
ELSAM. (2020). Perspektif gender dan hak anak dalam bisnis dan HAM: Perempuan dan anak di bawah kuasa korporasi di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Perwira, I. N. S., Handayani, I. G. A. K. R., & Karjoko, L. (2023). Aspek hukum perdata dalam kontrak bisnis pariwisata dan dampak untuk pembangunan ekonomi di Indonesia. Jurnal Hukum Universitas Sebelas Maret, 18(1), 18–31.
Putri, A. S. (2023). Perlindungan hukum bagi pekerja perempuan pada sektor pariwisata Bali. Jurnal Sosial dan Humaniora, 3(1), 56–65.
Santoso, I. B., Triyunarti, W., Azizah, F. N., Farhani, A., & Juaeni, A. (2024). Perlindungan hukum pekerja sektor pariwisata pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Seminar Nasional Pariwisata dan Kewirausahaan (SNPK), 3, 647–660.
Tangian, D., & Bawole, M. T. (2021). Hukum bisnis pariwisata. Manado: Universitas Negeri Manado.
International Labour Organization. (1958). Discrimination (Employment and Occupation) Convention, 1958 (No. 111). Geneva: ILO. https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C111
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39.