Hukum Perdata Waris dan Kesetaraan Gender: Kritik atas Keadilan dalam Akses Sumber Daya dan Pariwisata

25 September 2025

Hukum perdata merupakan cabang ilmu hukum yang secara spesifik mengatur hubungan antarindividu dalam kehidupan keseharian, dan salah satu aspek kompleks didalamnya terkandung sebuah hukum yang berisi penentuan bagaimana harta peninggalan seseorang dibagikan kepada ahli waris setelah orang yang bersangkutan meninggal dunia, dalam istilah lain ialah hukum waris. Dalam upaya dinamika inklusivitas, perdebatan tidak hanya berkisar pada siapa yang berhak menerima keadilan dalam pembagian waris, tetapi juga bersinggungan dengan bagaimana persoalan gender menjadi isu krusial yang dapat menentukan sejauh mana praktik hukum mampu mengatasi permasalahan diskriminasi dan menjamin keadilan yang setara bagi perempuan maupun laki-laki sebagai subjek hukum yang setara.

Kesetaraan gender dalam dinamika hukum memegang peran krusial dalam mewujudkan pembangunan sistem hukum yang berkeadilan, terutama ketika membahas persoalan perdata yang menitikberatkan relasi antara individu maupun sesama warga negara. Dalam konteks ini, kesetaraan gender menjadi isu krusial karena aturan waris tidak hanya bersinggungan dengan aspek ekonomi keluarga (Aprilia et al., 2024), tetapi juga merefleksikan realitas bagaimana negara dan masyarakat dalam menempatkan posisi perempuan dan laki-laki di hadapan hukum (Lubis & Triadi, 2024).

Dalam hukum Islam yang menjadi salah satu landasan pokok di Indonesia, memuat pembagian waris yang menetapkan bahwa laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat lebih besar dibanding perempuan, atas dasar alasan normatif bahwa laki-laki memikul tanggung jawab utama dalam menafkahi keluarga, sehingga secara moral dan yuridis dinilai pantas memperoleh porsi yang lebih banyak. Namun, jika dikaitkan dengan realitas sosial-ekonomi kontemporer terlihat kenyataan yang berbeda, di mana perempuan sering kali berperan sebagai penopang sekaligus tulang punggung perekonomian keluarga atau memberikan kontribusi yang setara dengan laki-laki (Ikhwanudin, 2023). Praktik tidak proporsional ini berakibat pada ketimpangan sosial yang menimbulkan persepsi ketidakadilan dan semakin mempertegas posisi perempuan yang tersubordinasi baik dalam ruang publik maupun domestik (Sari & Holid, 2025). 

Dalam praktiknya, kesetaraan gender dan perspektif feminisme menilai bahwa aturan waris dalam hukum perdata Islam sebenarnya masih berpotensi diadakannya reinterpretasi secara kontekstual, sebab inti dari tujuan hukum Islam adalah keadilan, bukan sekedar mempertahankan pembagian yang kaku, dan dengan demikian hukum waris perlu diinterpretasikan agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Beberapa akademisi dan praktisi hukum berpendapat bahwa pendekatan kontekstual dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kontribusi ekonomi perempuan dalam keluarga, situasi sosial-ekonomi ahli waris, dan prinsip perlindungan terhadap pihak yang rentan, sehingga sistem waris diharapkan tidak lagi memperkuat ketimpangan gender tetapi menjadi sarana dalam mewujudkan keadilan substantif (Sari & Holid, 2025; Trikantara, 2025).

Salah satu studi terkait dengan tanah ulayat di Negeri Liang, Maluku, menunjukkan bahwa tanah sebagai warisan kolektif yang tidak hanya menjadi sumber konflik antar masyarakat atas perebutan hak kepemilikan, tetapi merepresentasikan sistem kekerabatan patrilineal yang masih membatasi ruang perempuan dalam menentukan arah dan tujuan pemanfaatan tanah yang dijadikan kawasan wisata, di samping itu mereka seringkali termarginalkan dari hak atas kepemilikan ekonomi yang seharusnya didistribusikan secara adil. Konflik tersebut merepresentasikan bahwa kelemahan sistem pewarisan tanah adat yang tidak dilandasi dengan perlindungan hukum perdata yang responsif gender akan berpotensi memperparah ketidakadilan struktural, yang mana laki-laki menjadi subjek dominan dalam penguasaan sumber daya, sedangkan perempuan menjadi objek pasif meskipun mereka terlibat langsung dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (Lessy, Kabakoran, & Tuharea, 2023). 

Selain itu, studi kasus terkait pengelolaan wisata air terjun Banyuwana di Bali menunjukkan adanya upaya pengarusutamaan gender dalam praktik community-based tourism, di mana perempuan mulai dilibatkan dalam ranah profesional seperti manajemen destinasi dan kegiatan ekonomi kreatif lainnya, meskipun kenyataannya mereka masih dihadapkan oleh hambatan bias budaya dan keterbatasan akses terhadap pengambilan keputusan strategis dan visioner. Kondisi demikian menegaskan bahwa partisipasi perempuan dalam sektor pariwisata tidak dapat dipisahkan dari jaminan hukum yang lebih adil dan inklusif, termasuk hak mereka atas pewarisan tanah dan aset keluarga, karena tanpa adanya perlindungan tersebut upaya pemberdayaan perempuan hanya bersifat simbolis dan gagal dalam menindaklanjuti ketidakadilan struktural yang berakar pada distribusi hak dan kepemilikan aset. (Dewi et al., 2024).

Pembaharuan hukum perdata yang lebih progresif menjadi alur penting dalam mereduksi kesenjangan tersebut, karena reformasi hukum secara konsisten mendorong kemajuan dalam penyusunan regulasi sekaligus mendorong transformasi sosial budaya yang mampu mengikis dominasi patriarki dalam sistem waris. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perubahan hukum perdata berpotensi memperkuat kesetaraan gender dan memperkuat perlindungan perempuan perihal kepemilikan aset serta memperluas akses mereka terhadap keadilan, hal tersebut menumbuhkan kesadaran baru pada masyarakat bahwa kesetaraan gender dalam hukum waris bukan sekedar konsep normatif, tetapi sebagai bentuk nyata upaya menciptakan keadilan sosial yang berkelanjutan (Roem et al., 2024).

Dengan demikian, hukum perdata waris bukan hanya mencakup persoalan teknis tentang siapa yang berhak atas harta peninggalan, tetapi sebagai ruang penting untuk menguji sejauh mana prinsip kesetaraan gender benar-benar dipraktikkan dalam hukum Indonesia. Apabila hukum waris mampu diinterpretasikan secara adil dan pengadilan konsisten menegakkan legal standing perempuan dalam menuntut hak-haknya, maka hukum perdata dapat berfungsi sebagai instrumen penting dalam transformasi sosial yang tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi berperan dalam menjamin keadilan gender benar-benar terwujud dalam kehidupan masyarakat kontemporer. 

 

Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 25 September 2025

 

Writer: 

Hanum Zatza Istiqomah
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in social, cultural, and sustainability issues.

 

Referensi:

  1. Aprilia, D., Putra, D. E., Khusnah, L. H., Ruddiah, N. Z., Sundari, S., & Winata, V. M. (2025). HUKUM PERDATA SEBAGAI PENGHUBUNG ANTARA PERSEORANGAN DENGAN BADAN HUKUM. Lentera Ilmu, 1(2), 26–35. https://doi.org/10.59971/li.v1i2.49 
  2. Dewi, N. M. R., Liana, K., Adnyani, N. P. W. L., Putra, I. G. N. D. P., & Putra, I. P. A. P. (2024). Implementasi Pengarusutamaan Gender Pada Objek Wisata Banyuwana Waterfall. Aplikasi Administrasi: Media Analisa Masalah Administrasi, 156–169. https://doi.org/10.30649/aamama.v27i2.252 
  3. Ikhwanudin, M. (2023). Penerapan Kesetaraan Gender dalam Sistem Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Islam di Indonesia. Syntax Idea, 5(10), 1734–1745. https://doi.org/10.46799/syntax-idea.v5i10.2756 
  4. Lessy, R., Kabakoran, A., & Tuharea, I. (2023). ANALISIS SENGKETA HAK ATAS TANAH ULAYAT DI TEMPAT WISATA NEGERI LIANG PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM. TAHKIM, 19(2), 147–158. https://doi.org/10.33477/thk.v19i2.5652 
  5. Lubis, R., & Triadi, I. (2024). Menganalisis Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Konstitusi (Studi Tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia). Indonesian Journal of Law and Justice, 1(4), 12–12. https://doi.org/10.47134/ijlj.v1i4.2687 
  6. Roem, A. M., Aituru, Y. P., Rumalean, Z. Z., & Muslim, M. (2024a). Pembaruan Hukum Perdata sebagai Upaya Meningkatkan Keadilan Gender. UNES Law Review, 6(3), 9469–9478. https://doi.org/10.31933/unesrev.v6i3.1901 
  7. Roem, A. M., Aituru, Y. P., Rumalean, Z. Z., & Muslim, M. (2024b). Pembaruan Hukum Perdata sebagai Upaya Meningkatkan Keadilan Gender. UNES Law Review, 6(3), 9469–9478. https://doi.org/10.31933/unesrev.v6i3.1901 
  8. Sari, D. P., & Holid, M. (2025). Feminisme dalam Perspektif Hukum Perdata Islam. ASA, 7(1), 46–58. https://doi.org/10.58293/asa.v7i1.130 
  9. Tirkantara, I. M. (2025). Kesetaraan Gender dalam Hukum: Menjembatani Kesenjangan antara Ketentuan Hukum dan Praktik Sosial. Indonesian Journal of Law and Justice, 2(3), 11. https://doi.org/10.47134/ijlj.v2i3.3657 
  10. Sumber foto: greekboston.com