11 September 2025
Istilah independent women semakin populer dalam wacana global untuk menggambarkan perempuan yang mampu mandiri secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Dalam literatur Barat, istilah ini sering dikaitkan dengan hasil perjuangan feminisme dan meningkatnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja modern. Lecompte (1981), meneliti bagaimana perempuan Hispanik di Amerika Serikat mulai diidentifikasi sebagai independent women karena keterlibatan mereka dalam pekerjaan, migrasi, dan peran baru di luar rumah tangga. Fenomena tersebut dipandang sebagai sesuatu yang relatif baru, lahir dari perubahan sosial pada abad ke-20. Namun, jika menoleh pada masyarakat Minangkabau di Indonesia, konsep serupa sebenarnya telah hadir jauh lebih lama. Perempuan Minangkabau tidak perlu menunggu gerakan feminisme modern untuk diakui perannya, sebab sistem adat matrilineal sudah menempatkan mereka pada posisi yang kuat dalam keluarga dan komunitas. Melalui sistem pewarisan dari garis ibu, perempuan memegang kendali atas rumah gadang dan tanah ulayat, sekaligus memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan. Tradisi merantau yang dijalani laki-laki juga memperkuat posisi ini, karena perempuan sering menjadi pengelola utama ekonomi rumah tangga di kampung. Dengan kata lain, independent women bukanlah fenomena baru di Minangkabau, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari yang telah berakar sejak lama.
Perempuan Minangkabau menempati posisi yang unik dalam struktur sosial karena sistem adat matrilineal yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam sistem ini, garis keturunan dan warisan pusaka diturunkan melalui pihak ibu. Rumah gadang sebagai simbol keluarga besar dimiliki dan dikelola oleh perempuan, sementara laki-laki seringkali memiliki peran sebagai perantau. Kondisi tersebut menempatkan perempuan pada posisi yang kuat, tidak hanya dalam ranah domestik, tetapi juga dalam pengambilan keputusan keluarga dan komunitas. Konsep bundo kanduang mempertegas kedudukan ini, karena suara perempuan menjadi penting dalam legitimasi adat. Dengan kata lain, sistem matrilineal telah memberi dasar sosial yang memungkinkan perempuan Minangkabau memiliki kemandirian dan otoritas yang tidak umum dijumpai dalam masyarakat lain yang cenderung patriarkal (Kato, 1978; Novita, 2019; Stark, 2013). Kondisi tersebut secara langsung berdampak pada ekonomi. Perempuan Minang memegang kendali atas tanah ulayat yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Kepemilikan aset ini memudahkan mereka mengelola usaha kecil, seperti berdagang di pasar, mengolah hasil pertanian, atau membuka usaha berbasis rumah tangga. Selain itu, tradisi merantau yang dijalani laki-laki juga memberi ruang lebih besar bagi perempuan untuk mengambil alih pengelolaan ekonomi keluarga di kampung. Ketika laki-laki berada di perantauan, perempuan bukan hanya menjaga aset, tetapi juga mengembangkan aktivitas ekonomi lokal. Hal ini menjadikan peran perempuan Minang sebagai pengelola ekonomi rumah tangga semakin menonjol, dan pada saat yang sama memperkuat citra mereka sebagai individu yang mandiri (Kato, 1978; Oktaviani et al., 2022).
Dalam konteks kontemporer, kemandirian ekonomi ini tidak hanya terlihat dalam sektor tradisional, tetapi juga dalam profesi modern. Katadata (2020) menunjukkan bahwa Sumatera Barat memiliki persentase tenaga profesional perempuan tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 58,97 persen. Hal ini menegaskan bahwa perempuan Minangkabau mampu menyalurkan kapasitas pendidikan dan keahlian mereka ke dalam sektor formal dan profesional. Dalam konteks ketenagakerjaan Sumatera Barat, data juga menunjukkan bahwa terdapat tren peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, pada Agustus 2018 TPAK total di Sumatera Barat mencapai 67,26%, dengan perempuan memiliki angka partisipasi sekitar 54,53%, sementara laki-laki berada di kisaran 80,35% (BPS Web API). Artinya, dari 100 perempuan usia kerja, sekitar 55 orang tergolong sebagai angkatan kerja aktif, dan angka ini menunjukkan peningkatan dibanding periode sebelumnya. Lebih jauh, menurut data tahunan BPS, TPAK Sumatera Barat bergerak naik dari sekitar 66–67% pada awal dekade 2010 menjadi 72–73% pada tahun 2018–2019 (BPS Web API). Hal ini menggambarkan bahwa tidak hanya perempuan semakin aktif terlibat dalam angkatan kerja, tetapi secara keseluruhan populasi usia kerja di Sumbar juga semakin banyak yang ikut bekerja atau mencari kerja. Tren positif ini menunjukkan bahwa meski masih terdapat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, akses dan kapasitas perempuan untuk berperan dalam ekonomi formal maupun informal semakin terbuka (Badan Pusat Statistik, n.d.; Rizaty, 2021). Kemandirian ekonomi perempuan Minangkabau juga tampak dalam bidang pariwisata. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa bundo kanduang berperan penting dalam mengembangkan wisata halal dan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal. Perempuan tidak hanya menjadi penjaga nilai adat, tetapi juga pemimpin layanan wisata, mulai dari penyediaan kuliner, homestay, hingga kegiatan budaya. Keberadaan bundo kanduang membuat pariwisata di nagari Minangkabau tidak hanya menjadi kegiatan ekonomi, tetapi juga sarana untuk menjaga identitas budaya. Peran ini memperlihatkan bagaimana otoritas simbolik perempuan dalam adat dapat bertransformasi menjadi kapasitas kepemimpinan di sektor pariwisata modern (Rusyaida & Noor Fadlli, 2020).
Namun, posisi ini tidak lepas dari tantangan. Modernisasi, urbanisasi, dan perubahan peran gender menyebabkan terjadinya pergeseran. Fenomena perempuan yang ikut merantau, misalnya, menunjukkan dinamika baru yang bisa melemahkan peran mereka sebagai pengelola pusaka di kampung. Selain itu, meski perempuan memiliki kekuasaan simbolik yang kuat sebagai bundo kanduang, hal tersebut tidak selalu berarti akses penuh terhadap kekuasaan politik formal. Ada perbedaan antara legitimasi adat dan representasi politik, yang dalam praktiknya masih banyak dikuasai oleh laki-laki. Dengan demikian, meski sistem matrilineal memberi ruang besar bagi perempuan, terdapat keterbatasan yang harus diperhatikan agar peran mereka tidak hanya simbolik, tetapi juga substansial dalam pembangunan sosial ekonomi (Novita, 2019; Stark, 2013). Refleksi dari pembahasan ini menunjukkan bahwa kemandirian perempuan Minangkabau bukanlah fenomena baru yang muncul akibat modernisasi atau gerakan feminis, melainkan hasil dari sistem adat yang telah berakar kuat. Sistem matrilineal tidak hanya memberi mereka aset, tetapi juga tanggung jawab sosial dan ruang untuk berperan aktif dalam ekonomi keluarga dan komunitas. Ke depan, tantangan yang muncul adalah bagaimana mempertahankan peran ini agar tetap relevan di tengah perubahan zaman, serta bagaimana memaksimalkan kontribusi perempuan dalam sektor formal, termasuk pariwisata. Jika hal ini dapat dioptimalkan, maka perempuan Minangkabau bukan hanya akan dikenal sebagai penjaga adat, tetapi juga sebagai motor utama pembangunan ekonomi daerah berbasis budaya.
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 11 September 2025
Writer:
Sylviatul Muthqia
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in women's empowerment issues.
Referensi:
Badan Pusat Statistik. (n.d.). Tingkat partisipasi angkatan kerja menurut jenis kelamin. Diakses 9 September 2025, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjIwMCMy/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-menurut-jenis-kelamin
Kato, T. (1978). Change and continuity in the Minangkabau matrilineal system. Indonesia, 25, 1–16. https://www.jstor.org/stable/3350964?casa_token=G4FsR_0QipAAAAAA%3A-Jj-lQIk36GsvbffkLiWCHCzAClGSh0FzcUN7szU519ZflCGgdounJI1oaorQD-p-_MAudm21nCk79KgCHIH_TOi-cAGS8T8r5O95GR6hRWxB9Db_qs
Lecompte, M. D. (1981). Independent women: Hispanic female professionals in New Mexico. Frontiers: A Journal of Women Studies, 6(3), 1–8. https://doi.org/10.2307/969164
Novita, S. (2019). Kedudukan perempuan Minangkabau dalam perspektif gender. Jurnal Al-Aqidah, 11(1), 91–99. https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/alaqidah/article/view/911
Oktaviani, R., Djayusman, S., & Oktariani, D. (2022). Budaya merantau perempuan Minangkabau: Sebuah kajian berorientasi kebijakan. Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, 8(2), 928–934. https://jsbn.ub.ac.id/index.php/sbn/article/view/167
Rizaty, M. A. (2021, 16 Juni). Pada 2020, persentase keterlibatan perempuan sebagai tenaga profesional di Sumbar tertinggi. Databoks Katadata. https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/db616dc55657508/pada-2020-persentase-keterlibatan-perempuan-sebagai-tenaga-profesional-di-sumbar-tertinggi
Rusyaida, & Noor Fadlli, M. (2020). Peranan Bundo Kanduang mengembangkan wisata halal ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal di Tirtasari Tilatang Kamang. Ekonomika Syariah: Journal of Economic Studies, 4(2), 162–178. https://doi.org/10.30983/es.v4i2.3704
Stark, A. (2013). The matrilineal system of the Minangkabau and its resilience. Southeast Asia: A Multidisciplinary Journal, 13, 1–13. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/55911882/SEA-v13_matrineal-libre.pdf