Female Genital Mutilation: Membedah Praktik Berbahaya yang Mengancam Kesetaraan Gender dan Hak Asasi Manusia

31 Agustus 2025

Permasalahan krusial terkait dengan kesetaraan berbasis gender dan hak asasi perempuan menjadi persoalan yang menantang dalam dinamika pembangunan global, karena berbagai bentuk diskriminasi dan praktik berbahaya masih membatasi ruang perempuan untuk memperoleh hak penuh atas kesehatan, pendidikan, dan partisipasi sosial. Dalam konteks ini, perhatian internasional semakin diarahkan pada upaya menghapus praktik yang tidak hanya melukai perempuan, tetapi seraya melestarikan ketidaksetaraan struktural yang bertentangan dengan komitmen global terhadap keadilan dan martabat manusia.

Female Genital Mutilation (FGM) merupakan salah satu praktik yang penting untuk dibahas karena dampaknya tidak hanya mengancam kesehatan reproduksi dan psikologi perempuan, tetapi juga mencerminkan diskriminasi gender struktural yang menjadi hambatan serius bagi pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 5, khususnya target 5.3 yang menuntut diakhirinya praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak. Dengan lebih dari ratusan juta perempuan terdampak di seluruh dunia, FGM kini dipandang sebagai masalah internasional yang mendesak karena terkait langsung dengan pelanggaran hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan martabat perempuan, sehingga menuntut respon global yang komprehensif melalui riset akademik, kebijakan lintas negara, dan intervensi berbasis hak asasi. 

Female Genital Mutilation (FGM) merupakan sebuah praktek yang melukai atau mengubah organ genital perempuan tanpa indikasi medis, dan WHO (2025) menegaskan bahwa FGM tidak memberikan manfaat bagi kesehatan, bahkan berpotensi menimbulkan berbagai risiko dan kekhawatiran bagi anak perempuan maupun perempuan dewasa. Data UNICEF (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 230 juta perempuan dan anak perempuan di 30 negara telah menjalani FGM, angka yang meningkat sekitar 30 juta dibandingkan delapan tahun yang lalu, mengukuhkan isu ini sebagai permasalahan global yang mendesak dan perlu diakhiri (UNICEF, 2024). 

Pada konteks global, penghapusan FGM dimasukkan dalam Sustainable Development Goals (5.3) sebagai target menghapus semua praktik berbahaya pada anak perempuan pada tahun 2030, dan United Nations menegaskan bahwa mengakhiri praktik FGM menjadi langkah krusial dalam mewujudkan kesetaraan gender sekaligus menjamin penghormatan terhadap hak asasi seluruh perempuan dan anak perempuan (UN, 2024). Menurut laporan UNFPA tahun 2024, setiap tahun terdapat lebih dari 4 juta anak perempuan yang berada dalam risiko menjalani FGM, yang menunjukkan semakin tingginya urgensi untuk mengakhiri praktik tersebut. 

Dalam level Indonesia, UNICEF pada tahun 2021 melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga terbesar secara global dalam jumlah absolut perempuan yang mengalami FGM setelah Mesir dan Ethiopia, dengan praktik yang sebagian besar dilakukan pada bayi atau anak usia dini. Fakta ini menegaskan bahwa meskipun praktik FGM di Indonesia sering dianggap ringan dan hanya bersifat simbolis, secara kategorisasi WHO tetap termasuk pelanggaran HAM karena seluruh bentuk praktik FGM berpotensi menimbulkan dampak yang merugikan dan oleh sebab itu harus dihapuskan (WHO, 2025).

Secara hukum nasional, Permenkes No. 1626/2010 sempat disahkan sebagai regulasi yang memuat panduan teknis terkait sunat perempuan, namun kebijakan tersebut akhirnya dicabut dan digantikan oleh Permenkes No. 6/2014 yang secara tegas melarang tenaga kesehatan untuk melakukan FGM tanpa indikasi medis (Kemenkes RI. 2014). Namun, PBNU menyatakan bahwa FGM (sunat pada perempuan) tidak seharusnya dilarang, yang menggambarkan adanya perdebatan keagamaan di Indonesia sekaligus menunjukkan bagaimana tafsir agama kadang dijadikan justifikasi, meskipun bukti medis berbasis ilmiah dan HAM menolak praktik ini.

Dari perspektif medis, FGM terbukti menimbulkan resiko serius, sebagaimana WHO (2025) mencatat bahwa praktik ini berpotensi menimbulkan dampak jangka pendek seperti komplikasi akut berupa nyeri hebat, syok, pendarahan, infeksi, dan kesulitan buang air kecil, sementara dampak jangka panjang mencakup masalah obstetri, disfungsi seksual, hingga trauma psikologis pada perempuan. Menurut UNFPA (2024), beban finansial pada sektor kesehatan akibat FGM diperkirakan mencapai miliaran dolar setiap tahunnya, yang menjadi sebuah urgensi kuat atas perlunya eliminasi praktik tersebut. 

Melalui perspektif hak asasi manusia, praktik FGM dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap CEDAW dan CRC, karena tindakan ini melanggar hak asasi manusia atas integritas tumbuh, kesehatan, dan perlindungan dari tindakan kejam yang berpotensi merendahkan martabat. European Parliamentary Research Service (2025) menyatakan bahwa FGM merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan, sekaligus mencerminkan bentuk nyata diskriminasi yang ekstrem.

Alasan mendasar yang sering digunakan untuk mempertahankan praktik ini adalah dalih bahwa praktik FGM merupakan ritual peralihan anak perempuan menuju kedewasaan atau sebagai cara mengendalikan hasrat seksual perempuan, akan tetapi argumen ini justru memperlihatkan diskriminasi gender struktural dimana tubuh perempuan dipaksa tunduk pada norma patriarki sementara tubuh laki-laki tidak dikenai pengendalian serupa. Hal ini sejalan dengan kajian akademis yang menunjukkan bahwa praktik FGM pada dasarnya direpresentasikan sebagai norma sosial yang berakar pada struktur patriarki yang bertujuan untuk mengendalikan seksualitas perempuan (Bede, 2016). 

Dengan demikian, urgensi penghapusan FGM tidak hanya terletak pada aspek medis, tetapi terutama terkait dengan hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan upaya menghapus praktik diskriminatif. Sebagaimana ditegaskan PBB, upaya eliminasi praktik FGM memerlukan pendekatan komprehensif yang menyasar norma sosial, memperkuat pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, serta menegakkan hukum yang melindungi hak mereka (UN, 2025), karena itu, Indonesia perlu memperkuat regulasi, menolak praktik medikalisasi, dan membangun transformasi sosial berbasis komunitas hingga akhirnya tidak ada lagi ruang bagi keberlangsungan praktik ini. 

 

Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 31 Agustus 2025

 

Writer: 

Hanum Zatza Istiqomah
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in social, cultural, and sustainability issues.

 

Referensi: 

  1. Bede, F. (2016). Female genital mutilation. InnovAiT: Education and Inspiration for General Practice, 9(7), 395–403. https://doi.org/10.1177/1755738016643103 
  2. EPRS. (2025). Zero tolerance for female genital mutilation | Think Tank | European Parliament. Europa.eu. https://www.europarl.europa.eu/thinktank/en/document/EPRS_ATA(2017)595916 
  3. Kemenag RI. (2006). PBNU: Sunat Pada Perempuan Tidak Boleh Dilarang. Kemenag.go.id. https://kemenag.go.id/nasional/pbnu-sunat-pada-perempuan-tidak-boleh-dilarang-zpq86t 
  4. Peraturan Menteri Kesehatan. (2014). Permenkes No. 6 Tahun 2014. Database Peraturan | JDIH BPK. https://peraturan.bpk.go.id/Details/116748/permenkes-no-6-tahun-2014 
  5. UNFPA. (2018, February 6). Analysis of Legal Frameworks on Female Genital Mutilation in Selected Countries in West Africa. UNFPA WCARO. https://wcaro.unfpa.org/en/publications/analysis-legal-frameworks-female-genital-mutilation-selected-countries-west-africa-1 
  6. UNFPA. (2024). Female genital mutilation. UNFPA Arabstates. https://arabstates.unfpa.org/en/topics/female-genital-mutilation 
  7. UNICEF. (2024, March 7). Female Genital Mutilation: A global concern. UNICEF DATA. https://data.unicef.org/resources/female-genital-mutilation-a-global-concern-2024/ 
  8. United Nations. (2024). International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation | United Nations. United Nations; United Nations. https://www.un.org/en/observances/female-genital-mutilation-day 
  9. United Nations. (2025). International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation | United Nations. United Nations; United Nations. https://www.un.org/en/observances/female-genital-mutilation-day 
  10. World Health Organization. (2025, January 31). Female Genital Mutilation. World Health Organization; World Health Organization. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/female-genital-mutilation 
  11. Yayasan Kesehatan Perempuan. (2022, February 7). Sunat Perempuan: Tradisi Yang Diskriminatif Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan. Ykp.or.id; Yayasan Kesehatan Perempuan. https://ykp.or.id/sunat-perempuan-tradisi-yang-diskriminatif-terhadap-perempuan-dan-anak-perempuan/ 
  12. Sumber foto: unicef.org