31 Agustus 2025

Diskusi terkait “Women Rising, Shark Thriving: Perempuan Jadi Pionir” diselenggarakan pada 30 Agustus, bertepatan dengan Hari Hiu Paus Sedunia. Hiu Paus atau dalam istilah lain disebut Rhincodon typus merupakan spesies ikan terbesar di laut, yang saat ini menghadapi ancaman kepunahan akibat eksploitasi berlebihan dan pariwisata massal yang tidak terkendali. Dalam webinar tersebut menitikberatkan pembahasan yang krusial keterkaitan antara konservasi hiu paus, praktik ekowisata berkelanjutan, serta peran perempuan sebagai pionir dalam menjaga harmoni antara manusia, lingkungan, dan spesies laut. Dalam pembahasan tersebut beberapa narasumber memberikan berbagai argumen dan perspektif yang beragam dan dapat diringkas menjadi beberapa poin sebagai berikut:
-
Mas Iben selaku moderator dari Sebumi, menekankan luasnya wilayah pesisir Indonesia yang menjadi dasar potensi besar untuk konservasi hiu paus melalui sebuah pendekatan ekowisata yang bertanggung jawab. Ia menyoroti pentingnya sinergi antara masyarakat, lingkungan, dan hiu paus dalam harmoni yang nyata dalam upaya menyongsong pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dan berwawasan konservatif.
-
Mbak Maulita selaku narasumber yang mewakili Women in Tourism Indonesia, mengulas dasar konservasi hiu paus di Indonesia dengan memberikan analogi yang konstruktif dengan membandingkan praktik pariwisata di negara lain, khususnya di Oslob, Filipina. Kasus disana menunjukkan dampak negatif over tourism berupa kerusakan habitat, gangguan perilaku hiu paus, dan ketidaknyamanan wisatawan. Hal ini tentu menjadi referensi penting bagi para peneliti, penggiat wisata, dan aktivis lingkungan sebagai penegasan urgensi terhadap regulasi, kepatuhan, serta pengawasan dalam mengelola daya dukung ekowisata laut dan maritim.
-
Ibu Rita selaku narasumber yang mewakili Bale Pake Sumbawa, memberikan pemaparan terkait dengan lahirnya Bale Pake di Sumbawa, yang digagas oleh perempuan pesisir. Komunitas ini menanggapi keresahan atas meningkatnya wisata hiu paus yang berisiko merusak ekosistem jika tidak dikelola secara baik dan terstruktur. Sebagai ekowisata, Bale Pake menerapkan sistem kuota, kepemanduan yang tersertifikasi, hingga asuransi wisatawan sekelas internasional, sebagai upaya membangun ekowisata yang aman, terbatas, dan berfokus pada edukasi.
-
Dalam diskusi yang mendalam antara para narasumber tersebut, pembahasan tidak hanya terfokus pada bagaimana cara menjaga ruang pariwisata agar tetap berjalan secara konservatif dan berkelanjutan tetapi juga menyoroti rantai ekonomi pesisir yang banyak digerakkan oleh perempuan lokal. Partisipasi perempuan lokal di kawasan tersebut ditunjukkan melalui beberapa tahapan mulai dari penggerak ekonomi dan konservasi berbasis komunitas.
Dalam diskusi tersebut, berhasil direpresentasikan bahwa terdapat dua isu utama yang patut didiskusikan sebagai bagian dari wacana kritis berkelanjutan. Pertama, ancaman pariwisata massal terhadap kelestarian hiu paus yang berimplikasi langsung pada ekosistem laut dan pengalaman wisatawan. Kasus di Oslob, Filipina menjadi bukti konkret bagaimana overtourism yang tidak diatur dengan baik dapat menimbulkan kerusakan ekologi, mengganggu kenyamanan, dan berpotensi melukai spesies hiu paus. Kedua, peranan perempuan dalam ekowisata berkelanjutan yang tidak hanya tampil sebagai pewaris kearifan lokal, tetapi juga sebagai aktor utama dalam rantai ekonomi pesisir dan pengelolaan wisata berbasis komunitas. Dua isu sebagaimana yang sudah dipaparkan tersebut saling berkaitan karena keterlibatan perempuan sebagai agen aktif berpotensi menjadi solusi alternatif dalam mengatasi dampak negatif pariwisata massal sekaligus sebagai pondasi basis sosial dan ekonomi masyarakat lokal.
Di samping hal itu, masih menjadi catatan kritis terkait keterbatasan regulasi dan kepatuhan hukum meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan, namun sebuah kebijakan yang memfasilitasi kondisi tersebut sudah ada, sebagai contoh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan provinsi dalam mengelola kawasan konservasi laut), namun lemahnya penegakan justru dapat memperbesar resiko overtourism tetap besar. Meskipun regulasi terkait konservasi laut dan pengelolaan kawasan yang bersangkutan sebenarnya sudah ada, diskusi dalam hal strategi implementasi hukum yang efektif masih kurang mendalam. Terdapat kesenjangan antara aturan formal dan lemahnya kepatuhan di lapangan justru menjadi tantangan utama dalam upaya menjamin keberlanjutan.
Di satu sisi, perempuan sebagai aktor utama dalam pergerakan ini menguatkan dasar narasi yang dibangun dengan sangat kuat, tetapi perlu dikaji lebih mendalam agar kemudian tidak terjebak dalam romantisasi peran perempuan sebagai pionir yang sekedar rebranding. Karena menurut saya, representasi perempuan dalam wacana tersebut tidak seharusnya diposisikan sebagai simbol moral atau ikon konservasi kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun, tetapi juga diberikan kapasitas dalam menangani urusan strategis, rasional, dan struktural. Dari sini, muncul sebuah pertanyaan terkait peran perempuan, apakah keterlibatan perempuan lokal di sana benar-benar berbasis kesetaraan, atau justru lahir dari keterbatasan akses pekerjaan lain di pesisir yang mana jelas kita ketahui bahwa mayoritas perempuan dalam sektor pariwisata itu sendiri ditempatkan pada sektor yang tersubordinasi, tidak lain adalah domestik.
Sebagai closing statement, diskusi tersebut berhasil memberikan pesan kuat bahwa menjaga hiu paus bukan sekedar melestarikan satu spesies, melainkan juga menjadi harapan, kehidupan, dan masa depan masyarakat pesisir. Perempuan bersama kapasitas diri dan jejaring sosialnya, memiliki potensi besar sebagai agen penggerak transformasi menuju pariwisata berkelanjutan. Dengan kata lain, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam forum diskusi tersebut bahwa “Kesetaraan kini, kelestarian nanti” merepresentasikan sebuah visi yang tidak hanya menekankan pentingnya partisipasi perempuan tetapi juga harapan besar agar praktik ekowisata berkelanjutan dapat terus terjaga di berbagai lini kehidupan. Berdasarkan hasil pemaparan forum diskusi tersebut muncul pertanyaan seputar urgensi terhadap regulasi: bagaimana strategi implementasi hukum yang lebih efektif dapat dirancang agar kewenangan provinsi dalam mengelola kawasan konservasi laut seperti Bale Pake benar-benar mampu meminimalisir risiko overtourism, sekaligus mampu memastikan keterlibatan perempuan sebagai sosok pionir di sektor pariwisata pesisir tidak hanya menjadi bentuk romantisasi peran, tapi benar-benar lahir dari prinsip kesetaraan?.
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 31 Agustus 2025
Writer:
Hanum Zatza Istiqomah
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in social, cultural, and sustainability issues.