01 September 2025

Dalam sebuah wacana global terkait dengan pekerja migran perempuan, perbedaan antara negara-negara Global North dan Global South memegang peranan penting sebagai suatu urgensi yang tidak dapat diabaikan, Global North umumnya diasosiasikan dengan negara-negara maju yang mayoritas berada di belahan bumi utara, sedangkan Global South merujuk pada negara-negara berkembang yang sebagian besar terletak di belahan bumi selatan. Global North sering kali menjadi pihak yang diuntungkan dan menerima manfaat dari pasokan tenaga kerja murah yang tersubordinasi dari Global South, yang dalam konteks ini khususnya perempuan migran yang bekerja di sektor domestik, pengasuhan, hingga industri pariwisata.
Perempuan migran asal Global South, seperti Filipina, Indonesia, dan negara-negara Asia Selatan lainnya sering kali bekerja dalam kondisi rentan, baik di Global North maupun sesama di negara berkembang lainnya. Sebagaimana yang terjadi di Eropa, dalam laporan European Union Agency for Fundamental Rights (2011) mengungkapkan bahwa banyak pekerja domestik migran perempuan harus menjalani jam kerja yang panjang, menerima upah rendah, serta perlindungan hukum yang minim, sementara akses terhadap hak-hak dasar sebagai pekerja sering terhalang karena status migran yang tidak tetap dalam kata lain perizinan untuk tetap tinggal secara permanen serta ketergantungan pada majikan.
Sementara di wilayah Global South sendiri, praktik-praktik eksploitasi serupa juga masih berulang dalam berbagai bentuk. Studi kasus yang dikaji oleh Sara Asselman (2019) terkait dengan pekerja domestik Filipina di Maroko, menunjukkan bahwa bias rasial, stereotip budaya, dan dominasi kuasa historis turut memperkuat subordinasi perempuan migran, temuan tersebut menunjukkan bahwa meskipun migrasi kerja domestik sering kali diasosiasikan sebagai arus Selatan ke Utara, kenyataannya arus Selatan ke Selatan juga memproduksi ketimpangan yang serupa, yang bahkan seringkali diperparah oleh warisan kolonial dan persepsi sosial yang merendahkan pekerjaan domestik.
Dalam lanskap pariwisata global, perempuan migran hadir sebagai bagian integral dalam menghidupkan ruang industri, baik secara langsung melalui ruang-ruang pelayanan seperti hotel dan spa, maupun secara tidak langsung melalui kerja domestik di rumah-rumah para ekspatriat dan pelaku industri pariwisata, di mana kenyamanan wisatawan seringkali dibangun atas terabaikannya jejak kerja perempuan migran. Seperti yang dikemukakan oleh Mohanty (2003), narasi dominan dari Global North kerap membingkai perempuan Global South secara homogen sebagai sosok pasif dan eksotis, sebuah konstruksi yang mengabaikan keragaman serta menyederhanakan kompleksitas pengalaman mereka.
Representasi demikian ini berkontribusi terhadap komodifikasi budaya perempuan Global South dalam industri pariwisata, dengan mereduksi identitas mereka menjadi objek konsumsi wisatawan, dengan klaim pengakuan atas mereka sebagai agen aktif dalam struktur global yang timpang, tetapi realitas di lapangan menunjukkan kerentanan yang sering kali berujung pada eksploitasi, hal ini tercermin secara konkrit dalam pengalaman Win Faidah, seorang mantan pekerja migran perempuan asal Lampung Timur, Indonesia, yang pernah mengalami kekerasan fisik dan pelecehan seksual selama bekerja sebagai pekerja sektor domestik di luar negeri yang berdampak signifikan pada kondisi mental dan psikologisnya. Dalam wawancaranya bersama ILO (2024), ia mengisahkan bagaimana pengalaman traumatis tersebut mendorongnya mengikuti pelatihan di bawah program Safe and Fair, yang kemudian membentuknya menjadi seorang advokat bagi hak-hak pekerja migran perempuan Indonesia.
UN Women menegaskan bahwa perempuan migran, meskipun berkontribusi signifikan terhadap perekonomian melalui remitansi dan kerja perawatan, justru sering diabaikan dalam kebijakan nasional, di mana pengalaman, kebutuhan, dan hak-hak mereka kerap tenggelam di balik angka statistik yang dibingkai secara idealis seakan realitas mereka dapat diringkas dalam hitungan, sementara peran vital yang mereka laksanakan jarang mendapatkan pengakuan yang setara dengan beban dan risiko yang mereka tanggung. Di banyak negara, perlindungan hukum bagi pekerja migran masih bersifat parsial dan fragmentaris, kondisi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa sebagian besar dari perempuan migran bekerja di sektor informal, termasuk pariwisata dan kerja domestik tanpa memiliki akses jaminan sosial maupun layanan kesehatan (UN Women Asia Pacific, 2023).
Dari narasi yang tergambar di atas, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa, ketimpangan gender, ekonomi, dan rasial merupakan elemen utama yang menguraikan kompleksitas hubungan pekerja migran perempuan dalam relasi antara Global North dan Global South, dan perspektif pariwisata menambah lapisan analisis tambahan dengan mengungkap bagaimana tubuh dan tenaga perempuan diposisikan sebagai komoditas dalam lanskap ekonomi global, sekaligus menegaskan urgensi menghadirkan representasi yang berkeadilan dan kebijakan yang inklusif secara substantif. Penyelesaian persoalan ini memerlukan sinergi yang berkelanjutan dari para aktor yang bersangkutan, mulai dari negara pengirim dan penerima, organisasi internasional dan lembaga masyarakat, serta penguatan kapasitas dan kesadaran kritis pekerja migran perempuan itu sendiri sebagai subjek berdaulat yang berhak menentukan arah hidup dan perlindungan bagi dirinya.
Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 01 September 2025
Writer:
Hanum Zatza Istiqomah
An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in social, cultural, and sustainability issues.
Referensi:
- Asselman, S. (2019). Migrant Domestic Labor in the Global South: The Plight of Filipina Domestic Workers in Morocco. CUNY Academic Works. https://academicworks.cuny.edu/gc_etds/3177/
- FRA. (2012, January 16). Migrants in an irregular situation employed in domestic work: Fundamental rights challenges for the European Union and its Member States. European Union Agency for Fundamental Rights. https://fra.europa.eu/en/publication/2012/migrants-irregular-situation-employed-domestic-work-fundamental-rights-challenges
- FRA (European Union Agency for Fundamental Rights). (2011). Migrants in an Irregular Situation Employed in Domestic Work. UNHCR.
- ILO. (2018). I empower migrant domestic workers by sharing my experiences | ILO Voices. ILO Voices. https://voices.ilo.org/stories/i-empower-migrant-domestic-workers-by-sharing-my-experiences
- Mohanty, C. T. (n.d.). UNDER WESTERN EYES Feminist Scholarship and Colonial Discourses. https://www.sfu.ca/~decaste/OISE/page2/files/MohantyWesternEyes.pdf
- UN Women. (n.d.). Migrant Workers in the Asia and the Pacific Region. UN Women | Asia and the Pacific. https://asiapacific.unwomen.org/en/focus-areas/women-poverty-economics/migrant-workers
- Sumber foto: fao.org