Partisipasi Perempuan Suku Baduy dalam Pariwisata: Antara Keterbatasan Adat dan Peluang Pemberdayaan

01 September 2025

Partisipasi Perempuan Baduy dalam Pariwisata Berbasis Komunitas 

Pariwisata berbasis masyarakat atau Community-Based Tourism (CBT) merupakan pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata. Prinsip utama CBT adalah menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek wisata, melainkan sebagai aktor utama yang merencanakan, mengelola, sekaligus memperoleh manfaat dari aktivitas pariwisata. Model ini dipandang mampu memberikan dampak ekonomi, sosial, dan budaya secara lebih adil, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Melalui CBT, destinasi wisata dapat dikembangkan dengan memperhatikan kearifan lokal serta keseimbangan antara kepentingan wisatawan dengan kebutuhan komunitas.

Namun, dalam prakteknya, isu gender menjadi aspek penting dalam CBT. Perempuan, terutama di pedesaan, seringkali menghadapi keterbatasan dalam mengakses ruang partisipasi karena norma sosial, beban domestik, maupun rendahnya akses pendidikan. Padahal, peran perempuan sangat krusial dalam mendukung keberlanjutan pariwisata, baik dalam ranah ekonomi, budaya, maupun sosial. Oleh sebab itu, perspektif gender dalam CBT menekankan bahwa perempuan perlu dilibatkan tidak hanya pada aspek produksi, tetapi juga pada pengambilan keputusan dan kelembagaan pariwisata. Bentuk partisipasi perempuan dalam CBT dapat terwujud melalui berbagai aktivitas, seperti produksi dan penjualan kerajinan tangan serta kuliner lokal, keterlibatan dalam aktivitas budaya, penyediaan jasa homestay, maupun partisipasi dalam organisasi pengelola destinasi. Dengan demikian, kontribusi perempuan tidak hanya menambah pendapatan keluarga, tetapi juga memperkuat posisi sosial mereka di dalam komunitas.

Studi kasus masyarakat Baduy memperlihatkan secara nyata bagaimana partisipasi perempuan dalam CBT berlangsung. Perempuan Baduy berperan penting dalam aktivitas domestik yang memiliki nilai ekonomi. Mereka dikenal sebagai penghasil kain tenun dan kerajinan tangan, yang kemudian dipasarkan kepada wisatawan (Fitriana & Leonandri, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ruang publik mereka dibatasi oleh norma adat, perempuan tetap memiliki akses terhadap sektor pariwisata melalui kontribusi ekonomi berbasis keterampilan tradisional. 

Namun, pengelolaan pariwisata di Baduy tetap dikontrol oleh laki-laki melalui struktur adat. Mutaqien et al. (2021) menegaskan bahwa lembaga adat memegang kendali penuh terhadap tata kelola pariwisata, mulai dari regulasi penerimaan tamu hingga batasan interaksi dengan wisatawan. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam ranah pengambilan keputusan pariwisata masih sangat terbatas, meskipun peran mereka cukup kuat di bidang produksi ekonomi dan pelestarian budaya. Selain itu, terdapat perbedaan tingkat partisipasi antara komunitas Baduy Dalam dan Baduy Luar. Di Baduy Dalam, interaksi perempuan dengan wisatawan sangat dibatasi, sehingga partisipasi mereka hanya sebatas pada produksi kerajinan atau aktivitas domestik tanpa interaksi langsung. Sebaliknya, di Baduy Luar, perempuan memiliki ruang partisipasi yang lebih terbuka, terutama dalam berdagang, berinteraksi dengan wisatawan, dan memasarkan hasil kerajinan, meskipun tetap dalam koridor adat yang berlaku.

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep CBT memang membuka peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pariwisata, namun tingkat keterlibatan mereka sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan struktur sosial. Kasus Baduy menunjukkan bahwa perempuan memiliki kontribusi nyata dalam ranah ekonomi kreatif dan pelestarian budaya, tetapi pengambilan keputusan strategis masih didominasi oleh laki-laki melalui lembaga adat. Oleh karena itu, pengembangan CBT yang berperspektif gender perlu lebih peka terhadap dinamika budaya lokal agar ruang partisipasi perempuan dapat lebih optimal tanpa mengabaikan nilai tradisional komunitas.

 

Tantangan Partisipasi Perempuan Baduy

Meskipun pariwisata berbasis komunitas (CBT) memberi ruang bagi perempuan untuk berkontribusi, pemberdayaan mereka masih menghadapi sejumlah tantangan yang cukup kompleks. Tantangan utama muncul dari norma adat Baduy yang menekankan keterpisahan antara ruang domestik dan ruang publik. Perempuan memang memiliki akses dalam aktivitas ekonomi, seperti produksi kain tenun, anyaman, dan kuliner, tetapi keterlibatan mereka di ranah kelembagaan pariwisata sangat terbatas. Struktur adat menempatkan laki-laki sebagai pengambil keputusan, termasuk dalam hal regulasi penerimaan wisatawan, pola interaksi, serta arah pengembangan wisata (Mutaqien et al., 2021).

Selain kendala struktural, terdapat pula tantangan yang lebih luas sebagaimana digambarkan dalam penelitian mengenai perkampungan adat Baduy. Kekuatan adat dan kearifan lokal menjadi landasan utama masyarakat Baduy dalam mengelola pariwisata, namun hal ini juga membuat mereka rentan terhadap konflik nilai. Di satu sisi, pariwisata membuka peluang ekonomi dan ruang pemberdayaan, terutama bagi perempuan di Baduy Luar yang lebih terbuka dengan interaksi wisatawan. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa peningkatan interaksi dengan wisatawan dapat mengikis nilai adat dan memperlemah otoritas budaya yang sudah lama dijaga (Firmansyah, 2019). Tantangan lain terkait dengan kapasitas perempuan dalam mengelola pariwisata secara lebih mandiri. Rendahnya akses terhadap pendidikan dan pelatihan menyebabkan peran perempuan tetap terkonsentrasi di aktivitas domestik bernilai ekonomi, tanpa peluang besar untuk naik ke level kepemimpinan. Hal ini semakin diperkuat oleh perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perempuan Baduy Dalam memiliki ruang yang sangat terbatas, partisipasi mereka hanya sebatas lewat karya yang dijual, sedangkan perempuan Baduy Luar lebih aktif berdagang dan melayani wisatawan, meskipun tetap dalam batasan adat (Fitriana & Leonandri, 2020).

Dengan demikian, pemberdayaan perempuan dalam CBT di Baduy menghadapi tantangan ganda yaitu batasan struktural dari adat yang patriarkis, dan kontradiksi antara peluang ekonomi dari pariwisata dengan upaya menjaga kearifan lokal. Agar partisipasi perempuan lebih optimal, dibutuhkan pendekatan pemberdayaan yang sensitif terhadap budaya lokal, sekaligus mampu membuka ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk terlibat dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan pariwisata.

 

Peluang Pemberdayaan

Di tengah keterbatasan perempuan Baduy dalam ruang publik akibat aturan adat dan dominasi laki-laki dalam pengelolaan kelembagaan, Community-Based Tourism (CBT) muncul sebagai alternatif yang mampu menghadirkan peluang penting bagi pemberdayaan mereka. Prinsip utama CBT adalah partisipasi masyarakat secara inklusif, sehingga secara konseptual perempuan memiliki posisi penting sebagai bagian dari komunitas. Dengan adanya CBT, peran domestik perempuan yang semula hanya dianggap bagian dari kewajiban rumah tangga dapat dipandang sebagai aset ekonomi dan budaya yang berkontribusi langsung terhadap pariwisata.

Salah satu peluang nyata terletak pada ekonomi kreatif berbasis tradisi. Keterampilan menenun dan membuat kerajinan tangan, yang diwariskan turun-temurun, bisa terus dikembangkan menjadi produk unggulan wisata. Selain itu, aktivitas kuliner tradisional yang dikelola perempuan juga berpotensi memperkuat identitas pariwisata Baduy, sekaligus meningkatkan kemandirian ekonomi perempuan. Dalam perspektif gender, peluang ini dapat dilihat sebagai bentuk redistribusi nilai kerja perempuan: dari yang sebelumnya hanya dianggap “pekerjaan domestik” menjadi kontribusi produktif yang diakui secara ekonomi dan sosial. Lebih jauh lagi, CBT juga memberi peluang untuk perluasan ruang partisipasi perempuan dalam kelembagaan. Meskipun saat ini struktur adat menempatkan laki-laki sebagai pengendali utama manajemen wisata, kebutuhan akan tata kelola pariwisata yang berkelanjutan membuka ruang diskusi baru mengenai peran perempuan. Misalnya, perempuan dapat dilibatkan dalam kelompok sadar wisata, koperasi, atau lembaga pengelola produk kerajinan. Dengan cara ini, perempuan tidak hanya berperan dalam produksi, tetapi juga ikut dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi arah pengembangan wisata.

Jika dilihat dari perspektif keberlanjutan, keterlibatan perempuan juga dapat memperkuat pelestarian budaya dan lingkungan. Perempuan Baduy dikenal sebagai penjaga nilai-nilai tradisi, baik dalam berpakaian, bertani, maupun menjalankan praktik sehari-hari. Dengan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan, keterlibatan perempuan dalam menjaga narasi budaya akan sangat penting untuk mencegah terjadinya komodifikasi berlebihan yang berpotensi mengikis identitas Baduy. Dengan kata lain, pemberdayaan perempuan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal perlindungan budaya yang menjadi basis daya tarik pariwisata. Potensi pemberdayaan perempuan Baduy dalam CBT sesungguhnya terletak pada ruang negosiasi yang terbentuk dari ketegangan antara tradisi dan modernitas. Memang benar bahwa adat masih membatasi ruang perempuan, namun tekanan eksternal berupa pariwisata dapat mendorong munculnya interpretasi baru terhadap peran perempuan tanpa harus mengabaikan adat. Misalnya, perempuan bisa tetap bekerja dalam koridor domestik (menenun, memasak), tetapi produknya diposisikan sebagai bagian dari “identitas pariwisata Baduy” yang bernilai tinggi. Dengan adanya fasilitasi dari pemerintah atau LSM, keterampilan ini bisa diolah menjadi modal pemberdayaan yang lebih formal, seperti koperasi perempuan atau program pelatihan berbasis komunitas.

Dengan demikian, tantangan yang ada bukan berarti menutup kemungkinan. Justru di balik keterbatasan ruang publik, terdapat peluang strategis untuk menjadikan perempuan sebagai aktor penting dalam pariwisata Baduy melalui penguatan ekonomi kreatif, partisipasi kelembagaan, dan pelestarian budaya. Jika peluang ini dapat dimaksimalkan, maka CBT tidak hanya menjadi instrumen pembangunan ekonomi, tetapi juga sarana untuk mendorong kesetaraan gender berbasis kearifan lokal.

 

Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 01 September 2025

 

Writer:

Sylviatul Muthqia

An active undergraduate student majoring in Tourism at Gadjah Mada University with an interest in women's empowerment issues.

 

Referensi:

  1. Fitriana, F., & Leonandri, F. (2020). Women’s participation in tourism activities: A case study of Baduy tribe. Society, 8(2), 630–644. https://www.societyfisipubb.id/index.php/society/article/view/220
  2. Mutaqien, Z., Suminar, T., & Hernawan, A. H. (2021). Baduy dalam sentuhan pariwisata: Antara transformasi sosial, budaya, dan ekologi. Society, 9(1), 77–94. https://jurnal.harianregional.com/penjor/id-82198
  3. Perkampungan Adat Baduy: Antara pengembangan pariwisata dan pelestarian budaya. (n.d.). Jurnal Kebudayaan. https://sostech.greenvest.co.id/index.php/sostech/article/view/32233
  4. Wilkinson, P. F., & Pratiwi, W. (1995). Gender and tourism in an Indonesian village. Annals of Tourism Research, 22(2), 283–299. https://www.researchgate.net/publication/223795394_Gender_and_Tourism_in_an_Indonesian_Village
  5. Sumber foto: https://pariwisataindonesia.id/ragam/pakaian-adat-di-provinsi-banten-suku-baduy/