WTIDcamp Week 4.1: Understanding Gender Bias - Be Assertive!

29 Oktober 2021

Week 4.1 - Understanding Gender Bias - Be Assertive!

Iriantoni Almuna

UN Women Indonesia

Sabtu, 23 Oktober 2021 (09.00-12.00)

 

 

Hi fellow companions! Pada minggu keempat bulan oktober, #WTIDcamp Week 4 kembali berlangsung dengan mengangkat tema “Understanding Gender Bias - Be Assertive”, minggu ini scholars langsung belajar langsung dengan sosok kak Toni yang merupakan program lead dari Women’s Economic Empowerment in Indonesia di UN Women Indonesia, dan kak Toni telah memimpin program pemberdayaan perempuan di berbagai bidang seperti perdamaian dan keamanan, kesetaraan gender dan HIV, pencegahan kekerasan terhadap perempuan melalui inisiatif kota aman 

 

Sebagai pengantar, Kak Toni menjelaskan bahwa 54% pekerja di industri pariwisata adalah perempuan namun ditempatkan di low level employment dengan ditempatkan di posisi yang tidak bisa memberikan keputusan, jam kerja panjang, dengan kesenjangan upah mencapai 14,7% masalah lain seperti media iklan yang mengeksploitasi tubuh dan melanggengkan norma gender. Adapun posisi tinggi yang peran nya dilakukan oleh wanita pada industri pariwisata hanya sedikit, tercatat hanya 23% menteri pariwisata di seluruh dunia adalah perempuan. Padahal di Indonesia, tercatat 43,45% Pengusaha Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) adalah perempuan, termasuk dalam industri Pariwisata (BPS, SE2016-Lanjutan, 2019).

 

Berbicara soal gender bias, Kak Toni menjelaskan pengertian secata harafiah yang berakar dari preferensi atau praduga terhadap satu gender, dilakukan secara sadar maupun tidak sadar dipikirkan dan diucapkan, terjadi secara otomatis saat orang-orang punya pikiran dan preferensi terhadap gender tertentu yang berasal dari norma tradisi, nilai, budaya, dan pengalaman yang dialami oleh seseorang selama hidup dari kecil hingga sekarang. Penjelasan mengenai bias gender dilanjutkan dengan penjelasan pada situasi tertentu, jika perempuan menyampaikan pendapat dan menjadi asertif, disebut sebagai seorang emosional, sementara laki-laki dengan kegiatan yang sama, dianggap passionate, padahal kualitas mereka sama, perbedaan itu terjadi secara sadar-tidak sadar sehingga menjadi bias gender. 

 

Kak Toni menjelaskan mengenai pelekatan peran gender tertentu diberikan kepada manusia sejak manusia dilahirkan, mulai saat itu, proses pelabelan gender terjadi seperti bayi laki-laki memakai selimut biru, dan perempuan memakai selimut merah, ditambah oleh peran dan ekspektasi dari orang tua dilekatkan kepada mereka, jika dikategorikan oleh usia, menurut UNICEF, UN WOMEN, dan ILO, pada usia 3 tahun, anak-anak merasakan sense of gender identity, mulai mengenal dirinya sebagai laki-laki dan perempuan, dan mulai membedakan apa yang dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan, saat usia 5 tahun, terjadi gender stability dengan mengenal peran-peran dan memilih hal yang dilekatkan sebagai seorang perempuan atau laki-laki pada masyarakat, pada usia 7 tahun, gender tersebut mulai diekspresikan dan dianut sebagai identitas dan meningkat di usia remaja dan dewasa. 

Norma-norma dan diskriminasi gender menjadi persoalan, akibat tidak dilakukannya kritikan dan menerima sebagai atribut dan tindakan yang benar atau tidak benar dinamakan norma yang dipelajari dan di anut dalam kehidupan, mampu menyebabkan pelabelan dan stereotip serta generalisasi mengenai atribut atau peran tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan, kak Toni menjelaskan aksi tersebut contoh nya terjadi dilingkungan paling kecil yakni lingkungan rumah tangga dengan laki-laki yang hanya bisa menjadi kepala keluarga, tetapi, pelabelan dan stereotip tersebut keluar dari industri rumah tangga dan industri lain seperti pekerjaan ikut memberikan pelabelan dan menjalani stereotip, misal perempuan yang punya potensi untuk mencapai posisi tertentu dalam karir, karena sudah terlanjur dianggap kualifikasi pemimpin adalah laki-laki, maka posisi tersebut lebih banyak ditawarkan kepada laki-laki. Fakta yang dibeberkan oleh kak Toni adalah hanya 21-22% perempuan yang memimpin perusahaan, ini juga dapat disebabkan norma dan stereotip yang terjadi. Norma-norma dan stereotip yang ada mampu menciptakan lingkungan yang memaklumkan adanya perilaku tidak adil hingga kekerasan seksual terhadap perempuan dianggap rentan sebagai objek kekerasan seksual tersebut dimaklumkan. Bentuk bias gender lain dalam lingkungan pekerjaan adalah perusahaan yang belum memberikan cuti melahirkan dan menyusui kepada pekerja perempuannya dengan anggapan cuti melahirkan dan menyusui adalah beban dan akan merugikan perusahaan. 

 

UN Women melalui kak Toni menjelaskan beberapa jenis bias gender sering muncul di kehidupan sehari-hari, jenis bias pertama adalah likeability yaitu sikap bias yang berdasarkan disenangi karena gender mereka, contohnya adalah laki-laki mampu bersikap tegas dan menjadi standar kualifikasi seorang pemimpin, sedangkan perempuan mempunyai sifat lembut dan subjektif sehingga dipandang kurang baik  jika menjadi seorang pemimpin dan kurang cocok menjadi kualifikasi seorang pemimpin dan mengakibatkan perempuan kurang mendapat promosi jabatan. Jenis bias kedua adalah bias performanceatau kinerja dengan kecenderungan menganggap laki-laki lebih unggul daripada perempuan, contoh dari bias kinerja adalah standar atau ukuran seorang perempuan lebih sulit seperti syarat untuk belum menikah, tidak punya tanggung jawab rumah tangga dan syarat tersebut tidak diberikan kepada laki-laki, contoh lain adalah perempuan diberikan promosi dalam pekerjaan berdasarkan pembuktian sedangkan laki-laki secara alamiah memiliki potensi sehingga lebih mudah diberikan promosi. 

 

Jenis bias gender ketiga adalah bias Motherhoodyaitu bias dengan kecenderungan bahwa perempuan akan berakhir menjadi seorang ibu sehingga tidak perlu memberikan peluang karena tidak bisa 100% fokus karena harus melakukan parenting dan sebagainya, bias ini dipandang kuno karena pada zaman sekarang, parenting dapat dilakukan oleh pihak laki-laki sebagai ayah dan perempuan sebagai ibu. Pandangan lain mengenai bias Motherhood adalah upah yang perempuan terima adalah upah tambahan karena mereka dianggap bukan pencari nafkah utama dan menjadi salah satu penyebab kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan. Jenis bias keempat adalah attribusi dengan pandangan keberhasilan perempuan berkat bantuan dari orang lain,  kecenderungan lain yakni memandang perempuan tidak sekompeten laki-laki kemudian  tidak menghargai pencapaian perempuan karena dianggap perempuan tidak berpikir logis dan mengandalkan emosional dan tidak mempertimbangkan data dan menyalahkan perempuan jika berbuat kesalahan. Jenis bias kelima adalah bias Affinityatau afinitas, secara umum, bias ini menjelaskan bahwa kita lebih senang bekerjasama dengan orang yang memiliki kesamaan dengan kita dari latar belakang, peran, sifat, agama, dan jenis kelamin, bias ini membentuk  kecenderungan lebih nyaman untuk bekerja dengan laki-laki agar lebih unggul, lebih produktif dan nyambung, lalu orang-orang tersebut menghindari tim perempuan karena sifat dan karakter nya sama, lebih gemar tidak lebih unggul daripada laki-laki. Jenis bias gender terakhir adalah bias intersectionalityyang merupakan bias yang tidak terbatas pada gender seseorang, bias seperti ini terjadi akibat perbedaan identitas seperti suku, agama dan kepercayaan, status sosial-ekonomi, orientasi seksual, afiliasi politik, kondisi fisik maupun kesehatan, dan aspek lain dari identitas mereka, kadang bias yang dihadapi perempuan lebih parah akibat identitas yang mereka punya seperti perempuan dengan identitas minoritas mengalami pengucilan atau pengabaian.  Contoh praktek bias intersectionality : perusahaan di Jakarta mayoritas karyawannya bersuku betawi dan beragama Islam, kedatangan karyawan dari Papua dengan beragama Kristen, cenderung mendapatkan perlakuan diskriminatif. 



Jessica Ester & Muhammad Imaduddin

 
Dipublikasikan pada 29 Oktober 2021 di laman womentourism.id