23 Januari 2025

Asia dan Berakhirnya Era Bonus Demografi
Tren penurunan pada jumlah populasi masyarakat Asia, khususnya kawasan Asia Timur, nampaknya belum menunjukkan gejala transformasi seperti halnya indikasi kenaikan dalam angka kelahiran yang setidaknya dapat mengimbangi pesatnya grafik perkembangan populasi lansia. Mengutip dari laman Insights and Analysis on Economics and Finance yang dipublikasi oleh IMF tahun 2017, tercatat hingga di periode tahun tersebut, populasi lansia negara Singapura dan Korea Selatan dengan standar minimum usia 50 tahun, telah mendominasi sepertiga dari keseluruhan jumlah penduduk resmi negara. Sedangkan pada negara Jepang, populasi lansia bahkan sudah mencapai sebanyak hampir setengah dari jumlah warganya.
Di Indonesia sendiri meski jumlah individu yang memilih untuk tidak menjalani kehidupan pernikahan terbilang masih sangat rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya bila merujuk pada statistik global, nyatanya dalam satu dekade terakhir sejak tahun 2010, terdapat peningkatan yang cukup konsisten pada populasi yang memutuskan untuk melajang meski dihadapkan dengan segala potensi stigma sosial yang kadangkala juga dibarengi oleh pengembangan narasi keagamaan.
Sebagai contoh, seseorang dianggap telah melawan kodrat manusia yang identik dengan kategorisasi “makhluk sosial”, sehingga bila ia memutuskan untuk tidak terikat dalam hubungan komitmen seperti halnya pernikahan, maka anggapan karakter egosentris dan individualisme akan secara otomatis dilekatkan kepada individu tersebut, terlepas dari seberapa kuat alasan yang melatarbelakangi keputusannya. Begitu pula jika berbicara dari segi narasi keagamaan yang kerap dibangun oleh lingkungan sosial di sekitar, bahwa keputusan untuk menikah sudah selayaknya dijalani oleh setiap manusia dewasa yang telah dibekali oleh hasrat seksual dan pemahaman kognitif yang lebih mapan tentang hubungan komitmen bersama orang lain serta tanggung jawab yang mengitari.
Namun di tengah munculnya keresahan sejumlah populasi global terhadap masa depan perekonomian dunia yang dirasa akan sangat sulit bila tidak ditopang secara utuh dengan jumlah manusia berusia produktif seiring dengan minimnya angka kelahiran yang bahkan tidak mampu melampaui tingginya angka kematian pada penduduk lansia sampai-sampai terdapat prediksi bahwa era bonus demografi Asia akan benar-benar terhenti di tahun 2050, terdapat penemuan yang tidak kalah menarik sebagaimana dipublikasi oleh jurnal artikel berjudul Asia-Pacific Population and Development Report 2023 oleh UNESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific).
Memilih Tidak Menikah Sebagai Upaya Perlindungan Diri
Lebih dari seperempat populasi perempuan yang terikat dalam status hubungan, dari berbagai negara kawasan Asia dan Pasifik meliputi Bangladesh, Fiji, Kiribati, Papua Nugini, Thailand, Timor Leste, dan Vanuatu, mengaku telah menerima kekerasan seksual dari pasangannya di sepanjang hidup mereka.
Selain itu, budaya patriarki yang cenderung masih mengakar kuat di Asia baik itu Asia Timur, Asia Selatan, sampai dengan Asia Tenggara, dinilai kuat menjadi salah satu faktor utama yang menyuburkan tren kehidupan tanpa pernikahan. Terutama bagi kelompok perempuan yang selama sekian abad dan dasawarsa kerap menjadi pihak yang paling banyak menanggung beban dan implikasi dari kehidupan pernikahan, terlepas apakah pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian atau terus berlangsung hingga akhir hayat kedua pasangan.
Mencakup beban untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan domestik tanpa upah di samping beban profesionalitas di tempat kerja, tuntutan sosial untuk dapat mempertahankan bentuk tubuh dan paras kecantikan meski diliputi oleh rasa lelah akibat keharusan untuk turut andil dalam mengurus anak dan memberikan pelayanan kepada suami serta berbakti kepada dua keluarga besar di tengah segudang tanggung jawab pekerjaan kantor, bahkan sejumlah ancaman kekerasan dan pembunuhan oleh pihak-pihak yang menormalisasikan konsep ketimpangan relasi dan kuasa antara saudara perempuan dan laki-laki, antara istri dan suami, antara anak perempuan dan ayah, dan sebagainya.
Selain dari aspek keadilan dan kesetaraan gender yang tidak jarang menjadi fenomena traumatis bagi banyak generasi muda terutama bila mereka memiliki pengalaman langsung dalam menyaksikan orang-orang terdekatnya yang menjadi korban ketidaksetaraan gender dalam kehidupan pernikahan, semakin maraknya pemberitaan mengenai drama perceraian hingga rilis observasi dan penelitian yang mengungkap seberapa kompleks kebutuhan finansial manusia di era terkini dan berbagai potensi ketidakpastian ekonomi yang mungkin dapat berulang dari peristiwa-peristiwa masa lampau seperti Krisis Hipotek 2008, Krisis Bursa Investasi Pasca Terorisme 2011, Krisis Moneter Asia 1998 dan lain-lain, kian memengaruhi pandangan sebagian individu terhadap pernikahan.
Writer: Tarisyah Widi Shabira
Awardee of the Turkiye Burslari Scholarship for Master Program in Political Science
Artikel ini dipublikasikan pada laman womentourism.id | 23 Januari 2025
REFERENSI:
-
The Future of Population in Asia: Tradition and Change in Marriage and Family Life (asiasociety.org)
-
Masalah Korea, Jepang, Cina dengan Populasi yang Semakin Tua – DW – 17.03.2023
-
Grafik Pekan ini: Dampak Penuaan di Asia, 1 Mei 2017 (imf.org)
-
Tren Menuanya Populasi Mengancam Ekonomi Asia - Analisis Data Katadata