Post Covid Traveling: Situasi Kritis Menjadi Refleksi Diri bagi Travelers Perempuan Indonesia

15 Agustus 2020

 

Featuring: Irene N Komala, Michelle Francisca Lee, Gita Natalia

 

 

Seperti yang sudah diketahui, sektor pariwisata merupakan sektor yang paling mendapatkan dampak dari adanya pandemi Covid-19. Bulan April lalu, tim WTID pernah membahas pendapat para perempuan yang bekerja di berbagai sektor pariwisata Indonesia; bagaimana efek COVID-19 terhadap pekerjaan mereka di dalam feed   instagram kami saat memperingati hari Kartini. Di tengah new normal ini, pemerintah kembali menerapkan standar-standar protokol kesehatan untuk bepergian yang disusul juga oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO) dalam memberikan panduan #restarttourism berbentuk The Global GuidelinesLalu, karena era new normal ini sudah kembali digalakkan, bagaimana para travelers perempuan di Indonesia menghadapi situasi pandemi ini? tim WTID kembali melakukan wawancara dengan 3 travelers perempuan yang pastinya memiliki cerita, harapan, dan nilai yang dapat diambil di balik pandemi ini. Tak lupa, mereka juga berbagi tips untuk bepergian di era new normal ini loh, fellow companions! Mari kita simak hasil wawancaranya di bawah ini.

 

Hai women travelers! Boleh perkenalan terlebih dahulu?

 

Irene: Halo, perkenalkan nama saya Irene Natalia Komala, biasa dipanggil Irene. Saya seorang content creator, yang berbagi informasi dan cerita perjalanan melalui sosial media dan blog www.pinktravelogue.com.

 

Michelle:  Aku Michelle, solo traveler, blogger dan fotografer dari Jakarta.

 

Gita:Hai! Aku Gita, woman traveler dan founder dari slomotravel.id.

 

Apa tanggapanmu setelah ada travel warning terkait merebaknya kasus Covid-19?

 

Irene: Tak sedikit perjalanan ditunda atau dibatalkan sejak adanya travel warning terkait merebaknya kasus Covid-19 ini. Mau tidak mau, kita harus menerimanya dan mematuhi peraturan yang ada karena kasus ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia. Upaya travel warning tersebut dilakukan untuk mengurangi kasus Covid-19 di wilayah baru. Aspek kesehatan dan keselamatan harus tetap diutamakan dalam sebuah perjalanan.

 

Michelle: Pertama, cukup sedih karena beberapa rencana untuk traveling jadi tertunda. Kedua, lebih ke wondering bagaimana kedepan nantinya kalau kita perlu pergi keluar negeri. Soalnya sebelum COVID-19 dan sebagai warga negara Indonesia, proses untuk traveling ke luar negeri cukup panjang (seperti pengajuan visa), dan kedepannya kita kemungkinan besar harus menambah dokumen-dokumen agar bisa traveling.

 

Gita: Kalau bertanya tanggapan pribadi jujur travel warning is good and should be done strictly but it’s not implemented very well di sini, khususnya di Pulau Jawa (aku ga tau di daerah lain situasinya bagaimana). Aku bukan menyalahkan sistem, tapi kesadaran orang-orang yang menurutku pribadi kurang. 

 

Gita Natalia (Dok.Istimewa)

 

Setelah memasuki era new normal ini, adakah tips yang kamu bagikan untuk para traveler lain mengenai post covid-19?

 

Irene: Setelah memasuki era new normal, tips yang ingin saya bagikan kepada para traveller mengenai post Covid-19 adalah;

  • Mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker saat bepergian untuk melindungi diri sendiri dan orang lain.
  • Perhatikan aturan berwisata di tempat tujuan.
  • Membawa dokumen/surat kesehatan (rapid/pcr test)
  • Mengunduh aplikasi yang dibutuhkan, seperti eHac (bukti perjalanan untuk Kemenkes), Lindungi Peduli (untuk mengetahui status Covid-19 di tempat tujuan), Safe Travel (untuk mendapatkan informasi jika berada di luar negeri)
  • Menjaga kebersihan dengan mencuci tangan/menggunakan hand sanitizer.
  • Mengkonsumsi dan membawa vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh
  • Memakai jasa travel insurance, terutama yang  dapat memberikan perlindungan terkait Covid-19.

 

Irene N Komala (Dok.Istimewa)

 

Michelle: Kalo tips dari aku mungkin dalam hal preventing COVID-19 selama kita diluar rumah. Soalnya dengan new normal ini, mungkin kebiasaan kita belum terbentuk jadi masih sering lupa, tapi kita bisa prevent itu dengan hal simple. Kalo biasanya bepergian keluar rumah (baik itu traveling atau ke mall, atau kemana pun yang keluar dari rumah), selalu sedia hand sanitizer, masker, tissue di tas. Aku sekarang juga taruh satu ekstra masker di tas, jadi kalau aku atau keluargaku lupa bawa masker, bisa selalu pakai backup masker tersebut.

 

Gita: Di rumah aja dulu kalau ga perlu keluar. Kalau memang untuk mereka yang harus travel karena urusan pekerjaan dan emergency tetap patuhi protokol. At least pakai masker dan sanitize as much as you can dan jaga jarak. Untuk beberapa dari kalian mungkin situasi ini ga berdampak banyak, semua keluarga dan teman-teman masih sehat, kerjaan masih ada. Namun, situasi ini berdampak luar biasa bagi orang-orang yang kehilangan their loved ones karena Covid atau yang pemasukan terhambat atau bahkan tidak ada. Apakah kita travelers mau jadi orang yang berkontribusi memperpanjang situasi seperti ini? This is the time for practicing self control and self reflection as travelers. Kita mungkin mau ke segala penjuru dunia dan kita udah bosen terjebak. Tapi kita juga mengerti tidak semua itu harus berdasarkan what “we want”. Sadari ada konsekuensinya. Travel juga tidak akan kunjung ada kalau situasi terus memburuk. Jadi bersabarlah. Jujur aku salut sama para travelers yang udah ngebet banget pengen jalan dan sudah hampir gila ga kemana-mana but they stay. Biarpun kedengarannya simpel tapi ga gampang untuk membendung travel bugs untuk waktu yang belum tentu pasti kapan.

 

Menurut kalian, strategi apa sih yang tepat diterapkan pemerintah di kala post Covid-19 ini untuk travelers?

 

Irene: Industri pariwisata memang terkena imbas yang cukup besar. Namun, untuk memajukkan kembali pariwisata Indonesia bukan hanya diterapkan dari pemerintah saja, tapi juga dari pemilik industri dan kita sebagai penikmat pariwisata itu sendiri. Perjalanan post covid-19 saya akan fokus di wisata dalam negeri. Beberapa sektor pariwisata akan kembali beroperasi. Salah satunya untuk mengembalikan perekonomian rakyat yang terkena dampak pandemi. Pemerintah harus lebih menegaskan aturan dan sanksi bagi pelanggarnya. Pemilik industri seperti perhotelan, transportasi, wisata kuliner, dan tempat wisata harus meningkatkan standar kebersihan, kesehatan, dan keamanan. 

 

Michelle: Sebenarnya tergantung agenda dari pemerintah sendiri, apakah mereka mau mementingkan ekonomi atau safety & security? Atau mungkin keduanya. Kalau misalnya itu safety & security, protokol new normal yang terstandarisasi itu cukup penting, untuk di semua aspek dari pariwisata (contoh: akomodasi, food & beverage places, public transports, tempat atraksi, dsb). Kalau ekonomi, sebenernya ini yang lebih menarik soalnya di jaman sekarang (dan dari apa yang aku sudah amati), banyak sekali bisnis-bisnis, terutama bisnis UKM yang terpaksa harus kreatif. Jadi mungkin strategi yang tepat untuk pemerintah dari segi ekonomi adalah untuk mengakomodir bisnis-bisnis tersebut.

Michelle Francisca Lee (Dok.Istimewa)

 

Gita: Kalau tepat itu sudut pandang masing-masing, pemerintah tentu punya alasan yang kuat dengan kebijakan-kebijakannya. Namun yang disayangkan menurut aku adalah transparansi, kita ga ngerti kenapa kebijakan tersebut dilakukan. Misal, new normal kok dipercepat padahal angka kasus terus meningkat drastis. Dari media, alasan ini kan karena ekonomi Indonesia yang dinilai belum kuat jika dilakukan lockdown penuh harusnya alasan ini disebar seluas-luasnya. Malah yang viral sekarang konten orang-orang tanpa masker kemana-mana dan opini-opini bahwa virus ini tidak berbahaya. Kan seperti menyia-nyiakan kesehatan orang lain dan juga usaha petugas medis yang selama ini juga menurutku kurang diapresiasi (karena masih banyak orang yang menganggap enteng situasi ini). Lalu, leadership by example, kalau kita liat public figures yang kemana-mana tanpa masker, ngumpul rame-rame dan sebagainya, orang jadi berpikir “kayanya gapapa deh”. Jadi orang yang udah caution fatigue ini semakin dikonfirmasi deh “ngapain gua repot-repot toh orang lain juga gini”.

 

Adakah makna/nilai tersirat yang kamu dapatkan sebagai traveller setelah adanya wabah Covid-19 ini?

 

Irene: Pandemi seperti ini memang tak terduga sama sekali. Tapi saya percaya bahwa“There’s a good things in bad things”.Saya selalu mencari aktivitas agar tidak jenuh di rumah. Dengan keadaan yang terbatas dan lebih banyak melakukan hal di rumah, saya yakin teman-teman juga belajar hal baru dan dipaksa untuk lebih kreatif. Misalnya teman-teman pejalan, bisa mencoba sensasi jalan-jalan virtual ke berbagai tempat, merencanakan perjalanan, berinvestasi, melakukan hal yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya, dan lain-lain. Ternyata banyak juga kok hal positif yang kita lakukan selama pandemi ini. Coba ingat kembali, apa saja yang sudah kamu lakukan? Mari kita bersama-sama berdoa untuk bangsa Indonesia dan dunia, agar kembali pulih dari kasus Covid-19.

 

Michelle: Kalau dari perspektif aku, COVID-19 ini memperlihatkan kesiapan dari sebuah negara, perusahaan, organisasi, dan sebagainya. Kita bisa lihat dari bagaimana mereka menanggapi COVID-19, dan sebenarnya ini membuat aku jadi lebih gampang untuk memilih destinasi di kedepannya karena aku pastinya ingin jalan-jalan di negara yang aman dan siap. Kalau dari segi bisnis, dengan adanya new normal ini, semua bisnis jadi terpaksa untuk mendigitalisasikan (digitalization) bisnis mereka, kalau tidak, mungkin tidak akan survive dengan kondisi new normal ini.

 

Gita: Menurutku ini blessing in disguise. Kita yang hidup di era yang serba instan sehingga ada istilah instant gratification, ini bisa jadi momen di mana kita belajar self control, khususnya para traveller, ya. Dulu kalo bosen mau pergi tinggal booking besok berangkat, sekarang faktor-faktor seperti kesehatan diri sendiri dan orang lain jadi consideration sebelum bepergian. Ini jadi momen refleksi diri bagi kita para traveller juga. Rasa terjebak atau trapped kita gabisa explore kemana-mana itu ga enak banget. Kemarin waktu PSBB di jakarta udaranya jadi enak, langitnya biru sekali. Namun ketika new normal langitnya jadi balik abu-abu. Aku jadi mikir betapa kita sebagai travellers sometimes take our travel experience for granted. Dalam berbagai aspek, environment, kultur dan sosial. Contohnya, waktu bulan-bulan pertama covid aku lihat di berita ada adik-adik kita di desa pedalaman di Indonesia bagian Timur yang mau kelas online aja ga bisa, bahkan radio sampe ditaruh di atap supaya semua bisa dengar karena tidak semua rumah punya radio. Kadang mana terpikir kita sampai situ waktu travelling, yang penting kita senang dapat foto-foto bagus. Aku memulai bisnis travelku dengan pemikiran “there are so much things travelers don’t know behind the curtain”. Tapi ketika covid ini ga bisa travelling, aku jadi refleksi ke pengalaman travelku sebelumnya. Sebagai traveller apa yang bisa aku lakukan untuk menjadi traveler yang lebih baik untuk lingkungan dan sesama ketika nanti kita bisa travel lagi.

 

(Monica)

 

Artikel ini dipublikasikan pada laman womentourism.id | 15 Agustus 2020