Review Buku : Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di bawah Sosialisme

15 Mei 2025

Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di bawah Sosialisme merupakan sebuah hasil terjemahan dari tulisan milik Kristen R. Ghodsee yang diterbitkan oleh Jalan Baru Publisher serta didistribusikan oleh Berdikaribook. Keduanya sama-sama bergerak di bidang humaniora sehingga tidak jarang pada setiap publikasi karya yang terafiliasi, nyaris tak terpisahkan dengan topik perlawanan terhadap sistem pemerintahan maupun konstruksi sosial yang dirasa sarat akan penindasan.

Kristen R. Ghodsee sendiri merupakan seorang akademisi yang memperoleh gelar PhD dari UC Berkeley, sekaligus Profesor di University of Pennsylvania dan sudah berhasil menuliskan 6 karya buku seputar gender dan sosialisme. Tidak hanya membagi substansi tulisan menjadi 6 bab dengan judul yang sangat berani dan progresif, yakni:

1) Perempuan-Seperti Pria, tetapi Lebih Murah: Tentang Kerja

2) Apa yang Diharapkan Ketika Anda Mengharapkan Eksploitasi: Tentang Menjadi Ibu

3) Pakaian Setelan Tidaklah Cukup: Tentang Kepemimpinan

4) Kapitalisme di antara Seprai-Seprai: Tentang Seks (Bagian I)

5) Bagi Setiap Perempuan Sesuai dengan Kebutuhannya: Tentang Seks (Bagian II), dan

6) Dari Barikade ke Kotak Suara: Tentang Kewarganegaraan; 

tetapi Kristen R. Ghodsee juga menyisipkan profil singkat mengenai sejumlah tokoh perempuan dalam berbagai latar belakang sekaligus kontribusinya terhadap dunia, pada hampir setiap pergantian bab. 

Bab permulaan secara detail mengulas sejumlah dampak kerugian dari penerapan prinsip Kapitalisme dalam tatanan sosial dan perekonomian global. Dominasi peran kelompok laki-laki dalam kehidupan rumah tangga serta dalam sistem manajemen korporasi yang secara historikal sudah membentuk siklus disparitas sejak dimulainya era Revolusi Industri, sekalipun dinyatakan telah mengalami sejumlah transformasi di era modern yang memungkinkan adanya kontribusi lebih besar dari kelompok perempuan untuk memimpin sekaligus menetapkan konsensus penting perihal masa depan perusahaan serta keleluasaan untuk dapat melakukan pembagian peran dalam kehidupan rumah tangga bersama lelaki, nyatanya tidak serta merta memperbesar peluang bagi perempuan untuk terhindarkan dari dikotomi atas pilihan untuk mengeskalasi karir, maupun pilihan untuk memproteksi kehidupan rumah tangganya. 

Sejarah mencatat bahwa tidak sedikit perempuan di berbagai belahan dunia yang semata-mata dianggap sebagai properti bagi suaminya ketika memasuki kehidupan rumah tangga. Meskipun mereka nantinya tidak akan meninggalkan pekerjaan mereka pasca melahirkan, bayangan akan kewajiban ganda merupakan suatu hal yang nyaris mutlak dialamatkan oleh masyarakat dengan kultur patriarki. Bahkan tidak jarang bagi perempuan yang belum memasuki fase pernikahan pun, sudah diproyeksikan oleh sang ayah untuk dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya sebagai ibu rumah tangga yang akan melayani segala kebutuhan rumah serta hasrat biologis pasangannya dan secara otomatis proyeksi kebutuhan dasar akan sepenuhnya diambil alih oleh pihak laki-laki atau suami sehingga menambah aspek ketergantungan perempuan terhadap pria. 
 

Kebutuhan negara-negara blok timur terhadap tenaga kerja perempuan khususnya memasuki era Perang Dunia II, pada akhirnya mengharuskan para pemimpin negara untuk memberikan pendidikan dan pelatihan yang mumpuni kepada perempuan agar dapat menjadi sumber daya manusia yang terampil guna mendukung proses kemenangan blok timur sebagai penganut paham Sosialisme, terutama apabila terjadinya kekosongan pada beberapa divisi pekerjaan selama proses perang, yang semula ditempati oleh para pekerja laki-laki. Meski tak terelakkan tentang adanya kekhawatiran dari partai komunis atas upaya investasi pendidikan terhadap perempuan yang dinilai justru akan menimbulkan kerugian ekonomi di masa depan, namun ketika para pemangku otoritas mulai mempersilahkan para perempuan untuk “kembali ke rumah”, sebagian besar dari mereka dengan tegas menyatakan kecintaannya terhadap aktivitas bekerja.

Bab-bab berikutnya masih melanjutkan beberapa poin terkait isu domestik dan ketenagakerjaan perempuan, dengan dilengkapi oleh deskripsi atas munculnya kesadaran kelompok sosialis Eropa terhadap partisipasi perempuan dalam lingkungan industrial serta penguatan jejaring solidaritas pekerja. Hingga selanjutnya berimplikasi secara jangka panjang melalui penyusunan dan penetapan undang-undang cuti melahirkan yang mayoritas turut menyertakan jaminan cuti tanpa harus kehilangan pekerjaan bagi perempuan, dimulai oleh sejumlah negara Skandinavia (Finlandia dan Swedia) pada periode awal tahun 1900-an dan dilanjutkan oleh negara-negara Eropa Timur seperti Polandia, Cekoslowakia, dan Bulgaria.
 
Sekalipun masih terdapat beberapa negara penganut Sosialis yang belum sepenuhnya menerapkan landasan prinsip hak asasi dan keadilan bagi kelompok perempuan, seperti halnya Uni Soviet yang pada tahun 1955 meski telah mengakomodir sejumlah hak reproduksi mencakup pilihan untuk melaksanakan aborsi namun gagasan kebijakan mengenai pengadaan pendidikan seks paling mendasar pun hampir tidak pernah dipertimbangkan. Atau seperti Rumania dan Albania yang kerap membatasi akses terhadap kontrol kelahiran dan pendidikan seks pada perempuan, dengan adanya inisiasi pengesahan undang-undang cuti di berbagai negara Benua Eropa secara sistematis turut membangkitan kesadaran para perempuan secara berkelanjutan atas pentingnya penyertaan kebijakan perundang-undangan yang turut mengakomodir kebutuhan atas pengasuhan anak dengan lebih berkualitas di samping penerapan cuti melahirkan.
 
Terlepas dari pemilihan judul yang dirasa cukup sensasional, pada realitasnya seluruh narasi kalimat serta konsep pengetahuan yang dipresentasikan dalam buku ini tidaklah memberikan suatu metode pengajaran secara harfiah kepada kelompok perempuan untuk melakukan sebuah aktivitas seksual dengan ideologi sosialisme yang terpatri dalam pikiran. Melainkan buku ini memberikan suatu pandangan lugas tentang bagaimana proyeksi cara kerja dari ideologi Sosialisme dalam menawarkan sejumlah alternatif ideal terhadap upaya reformasi tatanan hukum, sosial, dan ekonomi yang diharapkan juga dapat mewujudkan keseimbangan antara independensi, kehidupan keluarga, serta pilihan dalam melaksanakan aktivitas seksual dengan lebih baik dan setara. 
 
 

Artikel ini diterbitkan di laman womentourism.id| 15 Mei 2025

 

Writer:

Tarisyah Widi Shabira

Awardee of Turkiye Burslari Scholarship for Master Program

 

Referensi:

Kristen R. Ghodsee. 2020. Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di bawah Sosialisme. CEP Subhan KM. Yogyakarta: CV Jalan Baru